Dialog imajiner dengan almarhum B.J. Habibie jelang Silakwil ICMI Jawa Timur 2025

Suaramuslim.net – Aku duduk dalam keheningan ruang kerjaku, memandangi dinding-dinding yang dipenuhi dengan berbagai penghargaan dan kenang-kenangan. Beberapa dokumen penting tergeletak di meja, menanti perhatian, namun pikiranku melayang jauh.

Saat itu, aku merasa seolah berada di persimpangan jalan, dihadapkan pada sebuah tantangan besar, yaitu: bagaimana membangkitkan semangat jihad para cendekiawan muslim yang terhimpun dalam ICMI, agar mereka tidak hanya menjadi pemikir, tetapi juga pelaku perubahan yang nyata di masyarakat.

Tanpa sadar, bayangan wajahnya hadir di benakku. Pak Habibie, tokoh idolaku, Begawan ICMI, seorang cendekiawan, seorang negarawan, dan seorang inspirator yang tak terbantahkan bagi kami semua. Seolah-olah beliau berdiri di hadapanku, meskipun nyata bahwa beliau telah lama berpulang. Aku merasa seolah bisa mendengar suara beliau mengingatkanku tentang pentingnya semangat juang dalam berjuang di jalan ilmu dan peradaban.

“Aku tahu, kamu sedang berpikir keras tentang apa yang bisa dilakukan untuk memotivasi para cendekiawan ini,” suara Pak Habibie mengalun dalam pikiranku.

“Kamu merasa perlu melakukan perubahan, tapi kamu merasa ragu, bukan?”

Aku mengangguk pelan meskipun beliau tidak bisa melihatnya.

“Iya, Pak. Para cendekiawan ini adalah orang-orang yang sangat terpelajar, bahkan sebagian besar dari mereka adalah guru besar. Bagaimana saya bisa membuat mereka tergerak? Bagaimana saya bisa membangkitkan semangat jihad mereka untuk berkontribusi lebih banyak kepada ICMI?”

Pak Habibie tersenyum lembut.

“Ingatlah bahwa kita bukan hanya dihadapkan pada kecerdasan mereka. Cendekiawan sejati adalah mereka yang tahu bahwa ilmu yang dimiliki harus digunakan untuk kepentingan umat. Jika kamu ingin mereka tergerak, hubungkan visi ICMI dengan tanggung jawab ilmiah dan sosial mereka. Ingatkan mereka bahwa jihad mereka bukan hanya tentang mencari ilmu, tetapi juga tentang bagaimana ilmu itu bermanfaat untuk masyarakat.”

Aku merasa sebuah cahaya muncul dalam hati.

“Jadi, saya harus menunjukkan kepada mereka bahwa berkontribusi di ICMI adalah bagian dari jihad fi sabilillah, bagian dari perjuangan yang lebih besar untuk peradaban Islam yang lebih baik?”

“Betul,” jawab Pak Habibie dengan penuh keyakinan.

“Dan jangan lupa, kamu harus memberikan penghargaan atas setiap kontribusi mereka. Cendekiawan adalah orang yang menghargai penghargaan, bukan karena pujian kosong, tetapi karena itu mencerminkan pengakuan terhadap karya dan perjuangan mereka. Tunjukkan bahwa kontribusi mereka sangat berharga, baik bagi ICMI, maupun bagi umat.”

Aku terdiam, merenung.

“Namun, bagaimana agar mereka merasa terlibat dalam proyek nyata, Pak? Terkadang mereka lebih suka bekerja sendiri, dalam ruang-ruang akademis mereka.”

Pak Habibie mengangguk bijak.

“Jangan takut untuk mengajak mereka berkolaborasi. Cendekiawan seringkali termotivasi ketika mereka diberi ruang untuk berinovasi. Ajak mereka dalam proyek-proyek yang relevan dengan keahlian mereka. Misalnya, merancang kurikulum pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai Islam atau mengembangkan pusat riset sosial yang bisa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.”

Aku menghela napas, merasa semakin terinspirasi.

“Tapi, Pak, apa yang bisa saya lakukan untuk lebih menyentuh sisi spiritual mereka? Mereka bukan hanya akademisi, mereka juga memiliki jiwa keagamaan yang mendalam.”

Pak Habibie tersenyum, seolah mengetahui arah pikiranku.

“Jangan lupa, kamu harus menyentuh hati mereka dengan nilai-nilai Islam. Perjuangan intelektual adalah jihad fi sabilillah, dan kamu bisa mengingatkan mereka akan hal itu. Ceritakan kepada mereka kisah-kisah para ulama besar yang telah memberikan kontribusi luar biasa bagi umat. Jihad bukan hanya soal berperang di medan fisik, tetapi juga tentang berperang dengan pikiran dan tindakan untuk kemajuan umat.”

Aku terdiam dalam-dalam.

“Jadi, kita harus membangkitkan semangat jihad ini dengan cara yang elegan, Pak. Dengan memberi ruang bagi mereka untuk berkembang, dan mengingatkan mereka akan tanggung jawab sosial dan spiritual mereka sebagai cendekiawan.”

Pak Habibie mengangguk, menatapku dengan penuh pengertian.

“Tepat sekali. Jangan lupa juga untuk menciptakan ruang untuk diskusi yang berkualitas. Cendekiawan akan merasa lebih termotivasi jika mereka bisa berbicara dan berdiskusi dengan sesama pemikir. Berikan mereka kesempatan untuk mengembangkan ide-ide mereka dalam ruang yang konstruktif, dan mereka akan merasa dihargai.”

Aku menunduk, mengagumi kebijaksanaan Pak Habibie.

“Terima kasih, Pak. Nasihat Bapak akan menjadi pijakan bagi langkah-langkah saya selanjutnya dalam memimpin ICMI Jatim. Semoga Allah memberi kemudahan dalam setiap langkah kami.”

Pak Habibie tersenyum lagi, seolah-olah memberikan restu.

“Ingat, perjuangan kita adalah perjuangan yang panjang. Tetapi, setiap langkah kecil yang kita ambil dengan niat yang benar, akan memberi dampak yang besar. Teruslah berjuang di jalan ilmu dan kebaikan, dan semoga Allah senantiasa meridhai setiap usaha kita.”

Dengan perasaan yang lebih tenang dan penuh semangat, aku menutup dialog imajiner ini dalam hati. Langkah-langkah untuk membangkitkan semangat jihad para cendekiawan ICMI Jatim kini terasa lebih jelas. Semoga Allah memberkati setiap langkah yang kita ambil bersama.

Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Artikel menuju Silakwil ICMI Jatim di Malang 15 Februari 2025

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.