Suaramuslim.net – Sore itu, aku duduk termenung di sudut ruang kerjaku. Matahari yang perlahan tenggelam menyinari meja kerja yang setia mendampingiku. Sekitar dua minggu lagi, Silakwil ICMI Jawa Timur di kampus UB akan segera digelar. Itu yang memenuhi ruang pikiranku.
Aku merasa harus mempersiapkan sesuatu yang lebih dari sekadar ucapan sambutan biasa. Aku mencari inspirasi. Sesuatu yang bisa menggugah semangat para anggota ICMI dan seluruh civitas akademika serta tamu undangan yang hadir.
Terlintas di pikiranku, apa yang lebih bisa menginspirasi mereka selain kisah hidup seseorang yang menjadi legenda? Salah satu yang terlintas dalam benakku adalah sosok B.J. Habibie. Ia bukan hanya seorang teknokrat, tetapi juga seorang visioner yang tak kenal lelah berjuang demi bangsa.
Aku pun mulai membayangkan sebuah percakapan, percakapan yang mungkin tidak pernah terjadi, tetapi sangat mungkin untuk diceritakan; sebuah dialog imajiner dengan Pak Habibie, yang kisah hidupnya tak pernah berhenti menggugah.
Dalam pikiranku, Pak Habibie mulai tampak. Seperti biasanya, ia muncul dengan senyum lembut, matanya menyiratkan ketegasan yang luar biasa. Suasana sekitar kami seperti diselimuti dengan energi yang tak terucapkan, yang datang dari sebuah semangat perjuangan. Aku lalu memulai percakapan itu.
“Pak Habibie, terima kasih telah bersedia berbicara dengan saya di sini. Kami di ICMI Jawa Timur ingin sekali mendengar pengalaman dan pandangan Bapak. Bapak adalah sosok yang sangat kami kagumi. Semua orang tahu perjalanan hidup Bapak, dari seorang anak muda yang lahir di Pare-Pare hingga menjadi presiden, hingga akhirnya menjadi salah satu tokoh besar Indonesia. Bagaimana Bapak memulai perjalanan itu?”
Pak Habibie (dalam bayanganku, seperti sosok yang penuh semangat) dengan santai namun sangat berwibawa mulai membuka cerita:
“Perjalanan saya dimulai dari sebuah mimpi. Sejak kecil, saya diajarkan untuk tidak merasa kecil, meski kami hidup dalam kesederhanaan. Ayah saya, meski seorang guru, selalu mengatakan bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka semua pintu. Dan itu yang saya pegang teguh hingga saat ini.” (Habibie: The Dreamer, Habibie, 1995, hlm. 34).
Aku tertegun. Perkataan itu mengingatkanku pada banyak anak muda di Indonesia yang sedang berjuang untuk meraih cita-cita mereka. Bagaimana impian besar mereka seringkali terhalang oleh rasa rendah diri. Aku kemudian kembali bertanya.
“Lalu, apa yang membuat Bapak begitu yakin untuk meninggalkan tanah air dan pergi ke Jerman di tengah keterbatasan?”
Pak Habibie lagi-lagi tersenyum. Senyum hangatnya semakin terlihat nyata:
“Saya tahu bahwa untuk mencapai sesuatu yang besar, kita harus berani keluar dari zona nyaman. Pergi ke Jerman adalah pilihan yang penuh dengan ketidakpastian. Tapi, itu adalah langkah yang harus saya ambil. Tidak ada yang mudah. Tetapi saya percaya bahwa dengan ilmu dan kerja keras, saya bisa membawa pulang sesuatu yang berguna untuk bangsa ini.” (Indonesia: The Rise and Fall of an Eagle, Habibie, 1998, hlm. 92).
Sekali lagi, aku terhenyak. Kalimat itu mengingatkanku pada banyak orang yang menunda langkah mereka karena ketakutan akan ketidakpastian. Kadang, kita membutuhkan keberanian untuk melangkah keluar dari kenyamanan kita. Aku mengangguk pelan, lalu bertanya lagi.
“Ketika akhirnya Bapak kembali ke Indonesia dan mulai mendirikan IPTN untuk memproduksi pesawat buatan Indonesia, banyak orang meragukan. Mereka bilang itu adalah impian yang mustahil. Apa yang mendorong Bapak untuk tetap melangkah, meski banyak yang meragukan?”
Pak B.J. Habibie memandang jauh, seolah melihat kembali kenangan perjalanan Panjang beliau itu:
“Saya tahu, itu bukanlah impian yang mudah. Tetapi saya juga tahu, Indonesia harus memiliki kebanggaan. Kita tidak bisa selalu bergantung pada luar negeri. Saya percaya, kita memiliki kemampuan untuk menciptakan teknologi kita sendiri. Jangan pernah ragu dengan kemampuan bangsa ini. Itu yang harus saya sampaikan, bahwa bangsa ini bisa lebih mandiri.” (Habibie & Ainun: The Untold Story, Habibie, 2003, hlm. 158).
Aku terdiam sesaat. Kata-kata Pak Habibie menanamkan keyakinan dalam hatiku. Betapa banyak orang yang terlalu cepat menyerah ketika ada rintangan, padahal di balik setiap tantangan terdapat peluang yang sangat berharga. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk bertanya tentang masa kepemimpinan beliau, yang penuh dengan perubahan besar bagi Indonesia.
“Pak Habibie, bagaimana Bapak memandang perjalanan kepemimpinan Bapak di Indonesia? Banyak yang menyebut bahwa era Bapak adalah masa transisi yang membuka ruang kebebasan dan reformasi.”
Pak Habibie dengan suara lembutnya yang berwibawa seakan menggema di ruangan kerjaku yang mulai senja:
“Penting bagi kita untuk memahami bahwa kebebasan berpikir adalah hak setiap individu. Saat saya memimpin, saya tahu bahwa negara ini membutuhkan reformasi. Tanpa kebebasan, tidak ada inovasi. Tanpa inovasi, kita akan tertinggal. Itu adalah alasan mengapa saya berani untuk membuka ruang kebebasan, meski itu tidak mudah.” (My Vision of Indonesia, Habibie, 2004, hlm. 220).
Sejenak aku terdiam, merenungi setiap kata yang terucap dari sosok yang tak hanya membangun pesawat, tetapi juga merancang masa depan bangsa. Aku pun melanjutkan percakapan ini dengan pertanyaan yang sudah sejak lama terlintas dalam benakku.
“Pak Habibie, banyak generasi muda yang merasa terintimidasi dengan jalan yang harus mereka tempuh. Apa pesan Bapak untuk mereka yang ingin mengikuti jejak Bapak dalam berjuang?”
Pak Habibie memandangku dengan mata yang tajam, namun penuh harapan agar aku benar-benar mendengarkannya:
“Pesan saya sederhana: Beranilah bermimpi besar. Jangan pernah takut gagal. Gagal adalah bagian dari perjalanan. Yang terpenting adalah tetap berusaha. Dan satu lagi, jangan pernah berhenti belajar, karena ilmu adalah senjata yang paling ampuh untuk memajukan bangsa.” (The Journey of a Dreamer, Habibie, 2006, hlm. 279).
Aku seakan bisa merasakan semangat dan tekad Pak Habibie, meski hanya dalam imajinasi. Aku merasa lebih ringan, lebih siap menghadapi tantangan yang akan datang. Dan ketika aku menulis pidato untuk Silakwil ICMI Jawa Timur, aku tahu bahwa kata-kata yang akan aku sampaikan akan dipenuhi dengan semangat yang sama, dengan perjuangan dan impian besar.
Dialog ini, meskipun hanya imajinasi, membekas dalam diriku. Pak Habibie tidak hanya mengajarkan tentang teknologi dan penerbangan, tetapi juga tentang keberanian untuk berjuang, untuk bermimpi besar, dan untuk memperjuangkan kebebasan berpikir demi kemajuan bangsa.
Aku menatap tulisanku di laptop yang baru beberapa kalimat sempat kubuat, lalu merenung, sampai kapan kita akan terus menunda langkah besar hanya karena ketakutan?
Waktunya telah tiba untuk menginspirasi orang-orang di sekitarku, seperti Habibie menginspirasi Indonesia, untuk berani bermimpi dan berjuang tanpa menunggu apresiasi, apalagi puja-puji.
Semoga Silakwil ICMI Jatim nanti akan menjadi momentum bagi kami, bagi kita semua untuk terus bergerak maju.
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Menjelang Silakwil ICMI Jatim, 15 Februari, Kampus UB