“Jangan rindu, berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja.”
Kalimat ini adalah salah satu petikan yang banyak dipetik saat ini. Tentang perkataan seorang remaja kepada “teman” wanitanya. Tampak indah memang, walaupun kalimat itu jelas merupakan gombalan yang dipoles dengan permainan kata-kata. Siapa yang bisa mengatur rindu atau tidak? Siapa yang bisa menanggung rindu orang lain? Jika yang dirindukan adalah orang tersebut, bagaimana ia menggantikannya? Omong kosong, bukan?
Artikel ini tidak hendak mencela atau mempermasalahkan kaimat tersebut, hanya saja saya ingin sekali mengajak para pembaca sekalian untuk bangun dari imajinasi romantis yang melenakkan. Bangun dan bergegaslah lihat sekitar. Ada keadaan genting melanda generasi kita. Para orang tua, para pendidik, para pejabat, para pemerhati generasi dan masyarakat yang terhormat. Mohon lihatlah, di Wajo sana, ada seorang murid mempolisikan gurunya hanya karena dicubit. Beritanya viral di internet.
Beberapa tahun yang lalu, seorang tenaga pendidik (adik kelas saya di kampus) juga dipenjara karena dituduh mencubit anak didiknya. Berita terakhir, seorang anak SMA di Sampang, Jawa Timur menganiaya gurunya hingga mengakibatkan kematian lantaran diingatkan karena tidur di kelas. Sungguh mengejutkan sekaligus menyedihkan sekali.
Tapi itulah fakta tentang generasi pengganti kita yang harus kita telan saat ini. Padahal, bangsa Indonesia terkenal dengan kesantunan dan keberadabannya. Namun saat ini, entah karena tuntutan kemajuan atau karena longgarnya aturan, atau mungkin juga HAM yang kebablasan. Wallahu a’lam apa penyebab utamanya. Terasa generasi muda semakin kurang ajar dan seenaknya.
Parahnya, mereka bukan hanya kurang ajar antara teman sekelas atau sekolah, namun juga pada guru – guru dan bahkan pada masyarakat luas. Pada tingkat yang lebih serius sampai pada tindakan kriminal berat seperti narkoba, perampokan atau penjarahan, pemerkosaan, pembunuhan dan lain sebagainya. Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
Ironisnya, hukum dan peradilan pun kurang represif dan proporsional dalam menjawab tindakan-tindakan kriminal mereka hanya karena mereka di bawah umur. Padahal kriminal dan kejahatan mereka sama besarnya dengan yang dilakukan orang-orang dewasa yang tentunya harus dipertanggungjawabkan dengan seadil-adilnya.
Selain proses hukum dan peradilan, tentu kita juga harus lebih serius lagi dalam memperhatikan dan menanamkan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti pada generasi kita sebagai tindakan pencegahan demi keberlangsungan dan kemajuan bangsa yang besar ini. Sebab, kata penyair Arab, Ahmad Syauqi:
“Sungguh (eksistensi) sebuah bangsa adalah akhlaknya, jika ia tidak ada tidak ada pula bangsa itu.”
Ada filosofi masyhur diajarkan di Madura oleh para orang tua dan guru dahulu yang sangat patut kita tanamkan kepada generasi muda saat ini tentang menjaga sikap dan tutur-kata. “Bhapak-bhepuk, guruh, ratoh.” (Bapak – ibu [orang tua], guru, raja). Artinya, orang tua, guru dan raja adalah orang orang yang berhak dan wajib kita hormati dalam perkataan maupun tingkah laku kita sehari-hari. Jika kita hormat pada raja atau presiden, maka demikian pula pada orangtua dan guru kita.
Konon, saking melekatnya filosofi ini, sampai-sampai seorang murid tidak berani mengusir ayam gurunya karena takut cangkolang atau kurang ajar. Memang terkesan berlebihan, namun jika dibandingkan dengan generasi “pembunuh” guru sendiri, tentu generasi yang menghormati ayam guru jauh lebih baik. Apalah arti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa akhlak dan budi pekerti?
Saking pentingnya akhlak dan nilai-nilai budi pekerti, tidak heran jika seorang Prof. BJ. Habibie menyimpulkan bahwa iptek tanpa imtaq itu akan berbahaya. Artinya tanpa iman dan taqwa yang merupakan asas utama akhlak dan budi pekerti yang tinggi. Seseorang yang memiliki ilmu dan teknologi akan menjadi berbahaya, apatah lagi orang “bodoh”?
Ulama-ulama terdahulu pun sepakat tentang pentingnya adab sebelum belajar ilmu apa pun. Hingga Al Imam bin Al Mubarak rahimahullah pernah berkata, “Aku belajar adab selama 30 tahun dan belajar ilmu selama 20 tahun.” Beliau juga pernah berkata, “Kita lebih butuh belajar sedikit adab daripada belajar banyak ilmu.”
Sungguh ini merupakan PR besar bagi kita semua para generasi yang akan segera terganti, khususnya para orang tua dan pendidik generasi muda, kemanakah kita akan membawa generasi kita selanjutnya? Apakah seperti generasi “kurang ajar” tak tentu arah yang hanya sibuk dengan petikan-petikan basi melankolis yang tiba-tiba buas dan bengis? Atau generasi emas berbudi pekerti mulia, ilmu tinggi dan penuh optimis?
Maaf, Dilan. Bukan rindu yang berat, tapi akhlak yang mulia. Coba ngaji akhlak lagi.
Oleh Imam Gazali
Alumnus Mahad An Nuaimy, Jakarta. Asal Madura kini tinggal Mekkah.
Editor: Oki Aryono
Sumber foto
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net