Dilema moral kedatangan atlet Israel ke Indonesia

Suaramuslim.net – “Olahraga memang universal, tapi kemanusiaan lebih universal lagi.” Kalimat itu saya ulang-ulang dalam hati ketika membaca kabar bahwa atlet senam asal Israel akan bertanding di Jakarta pada ajang FIG Artistic Gymnastics World Cup 2025. Sebuah berita yang, bagi banyak orang Indonesia, terasa seperti duri di tengah dada—terutama bagi mereka yang masih menyimpan luka dan empati terhadap penderitaan rakyat Palestina.

Bukan soal olahraga, ini soal nurani

Sebagian pihak mungkin akan berkata, “Ini urusan olahraga, jangan dibawa ke politik.” Tapi bisakah kita benar-benar memisahkan keduanya? Apalagi jika yang datang adalah perwakilan resmi dari negara yang hingga kini masih melakukan penjajahan, penindasan, dan genosida terhadap bangsa Palestina; saudara seiman, saudara kemanusiaan kita.

Indonesia memang menjunjung tinggi prinsip netralitas olahraga. Namun, politik luar negeri Indonesia sejak awal berdirinya adalah politik anti-penjajahan. Pembukaan UUD 1945 menegaskan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”

Maka, bagaimana mungkin negara yang berlandaskan amanat luhur itu membuka pintu kepada perwakilan dari negara yang terang-terangan melanggar prinsip kemanusiaan?

Preseden yang harus diingat

Kita tentu masih ingat, pada 2023 lalu, FIFA mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 setelah muncul gelombang penolakan terhadap keikutsertaan tim Israel. Saat itu, pemerintah menghadapi dilema besar antara komitmen terhadap prinsip politik luar negeri dan tekanan dari lembaga internasional.

Kini situasinya kembali berulang, hanya dengan bentuk berbeda. Kali ini bukan sepak bola, melainkan senam. Namun esensinya sama: legitimasi terhadap kehadiran Israel di tanah air.

Bagi rakyat Indonesia, penolakan itu bukan kebencian atas bangsa, tetapi bentuk ketegasan moral terhadap rezim yang melakukan kejahatan kemanusiaan. Menolak kehadiran atlet Israel bukan bentuk diskriminasi, tetapi bentuk solidaritas moral terhadap mereka yang dijajah.

Aspek hukum dan politik luar negeri

Dari sisi hukum, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Artinya, tidak ada dasar hukum formal untuk memberikan izin masuk kepada perwakilan resmi negara tersebut dalam konteks kegiatan kenegaraan atau kompetisi yang membawa simbol nasional Israel.

Di sisi politik luar negeri, Indonesia konsisten mendukung kemerdekaan Palestina dan menolak segala bentuk normalisasi hubungan dengan Israel sebelum kemerdekaan Palestina terwujud. Sikap ini sejalan dengan KTT Gerakan Non-Blok, OKI, dan Resolusi PBB yang menentang agresi Israel di wilayah Gaza dan Tepi Barat.

Membuka ruang bagi atlet Israel sama saja membuka pintu normalisasi secara perlahan—dari pintu olahraga, menuju diplomasi budaya, lalu politik. Inilah yang harus diwaspadai.

Dimensi sosial budaya dan kerawanan domestik

Kehadiran atlet Israel tidak hanya persoalan internasional, tapi juga menyentuh sensitivitas sosial dan keagamaan di dalam negeri. Kita hidup dalam masyarakat yang mayoritas Muslim, yang memandang penderitaan rakyat Palestina bukan hanya isu kemanusiaan, tapi juga isu keimanan.

Mengizinkan atlet Israel datang berarti berpotensi memicu gejolak sosial, aksi penolakan, bahkan gangguan keamanan di lapangan. Pemerintah tentu tidak ingin event olahraga berubah menjadi panggung protes.

Karena itu, mencegah kehadiran mereka justru langkah preventif yang bijaksana, bukan bentuk intoleransi. Ini cara menjaga harmoni nasional, bukan mengusiknya.

Olahraga tak boleh jadi topeng

Olahraga sering disebut sebagai sarana persaudaraan lintas bangsa. Tapi ketika sebuah negara menggunakan olahraga untuk memoles citra politiknya, di situlah nilai sportivitas tercederai. Israel sudah lama memanfaatkan partisipasi di ajang internasional sebagai diplomatic soft power—untuk menunjukkan bahwa mereka “negara normal” di mata dunia, padahal mereka masih melakukan pendudukan ilegal terhadap tanah Palestina.

Indonesia tidak boleh terjebak dalam permainan citra itu. Sebagai bangsa besar, kita punya hak untuk menegakkan prinsip moral dan kedaulatan. Kita bisa menjadi tuan rumah yang bermartabat tanpa harus tunduk pada tekanan lembaga internasional. “Menolak kehadiran atlet Israel bukan kebencian, tetapi keberpihakan kepada kemanusiaan.”

Sikap ICMI Jawa Timur

Sebagai Ketua ICMI Jawa Timur, saya menegaskan bahwa Indonesia harus konsisten dengan amanat konstitusi dan hati nurani bangsa. Kami mendesak pemerintah untuk meninjau ulang izin kehadiran atlet Israel dalam ajang senam dunia tersebut.

ICMI mendukung segala upaya diplomatik yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Tapi kami juga menolak segala bentuk normalisasi dengan rezim yang masih melakukan kejahatan kemanusiaan.

Kami percaya, Indonesia akan dihormati dunia bukan karena tunduk, tetapi karena teguh pada nilai-nilai kemanusiaan.

Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.