Suaramuslim.net – Pada surah Al Ahzab ayat 35, ada hal penting untuk ditadabburi. Dalam ayat ini, salah satu kriteria orang yang bakal mendapat ampunan Allah subhanahu wa ta’ala dan ganjaran besar adalah orang-orang yang berpuasa, baik itu laki-laki maupun perempuan. Menariknya, orang yang berpuasa didahului orang yang bersedekah dan setelahnya adalah orang yang menjaga (mengendalikan) kemaluannya.
Susunan ini jelas bukan tanpa makna. Penulis dalam keheningan malam mencoba mentadabburinya. Tadabbur yang paling kuat dari susunan ini adalah bahwa puasa di samping memiliki dimensi internal (pengendalian diri) juga memiliki dimensi eksternal (bersedekah). Bahasa yang lebih akrab adalah dimensi sosial.
Kita mulai dari dalil-dalil normatif terlebih dahulu. Di dalam Al Quran ayat-ayat yang berkaitan dengan puasa berikut varian ibadah yang terkait dengannya, ada dimensi sosial yang patut disorot. Pembayaran fidyah bagi orang yang tak mampu berpuasa karena berat atau susah payah sesuai dengan hari yang ditinggalkan misalnya, adalah bukti paling gamblang mengenai dimensi sosial puasa.
Belum lagi perintah puasa yang ditujukan kepada seluruh orang-orang beriman baik yang terdahulu maupun sekarang (QS. Al-Baqarah [2]: 183) bahkan yang akan datang, semakin memperjelas bahwa puasa bukan ibadah yang hanya menyangkut individu, tapi juga komunitas sosial. Siapapun orangnya –asal beriman- baik kaya-miskin, tua-muda, lelaki-perempuan, rakyat jelata-pejabat teras dan lain sebagainya masuk dalam lingkup kewajiban ini.
Dalam hadits pun, isyarat-isyarat puasa sebagai ibadah yang juga mempedulikan ranah sosial juga tidak sedikit. Hadits yang menjelaskan keutamaan memberi makan orang berbuka dan kedermawanan Nabi Muhammad yang berlipat ganda saat Ramadhan, juga menunjukkan dimensi sosial puasa.
Sejarah juga membuktikan. Sahabat-sahabat setelah beliau juga tidak menanggalkan aspek sosial dari ibadah puasa. Sebagai contoh, Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anh tidak berbuka puasa melainkan dengan anak-anak yatim dan orang miskin.
Tak kalah mengesankan dari kisah itu adalah yang dilakukan oleh Ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Suatu hari –saat sedang berpuasa- beliau didatangi orang miskin yang hendak meminta sesuatu kepadanya. Pada waktu itu, di dalam rumah istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang dipanggil Humaira ini hanya ada satu adonan makanan yang disiapkan untuk berbuka puasa.
Melihat orang miskin yang membutuhkan, ‘Aisyah tidak berpikir panjang, lantas menyuruh pelayannya untuk memberikannya pada si miskin. Bahkan, di waktu sore, ketika ada keluarga yang memberinya hidangan kambing. Di luar dugaan, domba yang sudah siap saji itu malah diberikan kepada pelayannya yang memang patut mendapat makanan yang lebih layak.(Usamah, Mi`ah Qishshah Lizaujaat wa Banaat al-Rasuul Shallallahu ‘alaihi wasallam wa al-Shahaabiyaat, 55)
Dengan demikian (berdasarkan keterangan tadi), puasa memiliki dimensi sosial. Tidak mengherankan pula jika ibadah puasa Ramadhan ini ditutup dengan kewajiban membayar zakat untuk fakir miskin, karena berhubungan erat dengan masalah sosial.
Orang yang berpuasa, seyogianya kepekaan sosialnya semakin terasah tajam, utamanya dalam bulan Ramadhan. Dengan kata lain, puasa seharunya mendidik seorang mukmin untuk tidak menjadi egoistik dan individualistik, tapi juga peduli sosial. Yang tidak kalah penting, untuk peduli sosial tak harus menjadi orang kaya. Sebagaimana Aisyah, apapun yang dipunya bisa dikontribusikan untuk kepentingan sosial walau sejatinya diri sendiri membutuhkan.
Oleh Mahmud Budi Setiawan, Lc*
Editor: Oki Aryono
*Tim Konten AQL Islamic Center (Pimpinan Ustadz Bachtiar Nasir), alumnus Univ. Al Azhar Mesir