SURABAYA (Suaramuslim.net) – Pro kontra wacana lembaga filantropi Islam mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) terjadi saat Ketua DPD RI mengusulkan dana di lembaga amil zakat untuk membantu membiayai program tersebut.
Sebagai negara mayoritas Islam, kebiasaan tolong-menolong masyarakat Indonesia secara bertahap berkembang menjadi lembaga filantropi yang lebih terstruktur menyalurkan bantuan kepada yang membutuhkan. Pemberian bantuan sendiri juga sejalan dengan tujuan program MBG yang dijalankan oleh pemerintah.
Hal ini disampaikan Guru Besar Pemberdayaan Zakat Unair Surabaya, Prof. Dr. Tika Widiastuti, S.E., M.Si pada talkshow Ranah Publik, Suara Muslim Radio Network bersama Sekolah Pascasarjana Unair, Jumat (21/02/25). Tika menyampaikan bahwa, dalam ekonomi Islam, peran utama negara adalah memastikan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakatnya.
“Kita harus tahu persis bahwa peran negara minimumnya ya, memenuhi kebutuhan pokok minimum masyarakatnya. Kalau kita sebut minimum dalam ekonomi Islam itu ada dhoruriyah, hajiyah, dan tahshiniyah. Dalam konteks makan bergizi gratis, kalau kita lihat secara konseptualnya memang inline dengan apa yang menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan dhoruriyah.” Ujar Wakil Dekan Fakultas Vokasi Unair tersebut.
Menurut Tika, MBG selaras dengan tanggung jawab lembaga filantropi Islam yang mencakup Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Badan Amil Zakat (BAZ), serta Lembaga Amil Zakat Nasional (Laznas) berperan sebagai pengelola dana sosial untuk membantu memenuhi kebutuhan gizi pangan nasional.
Asumsinya didasari oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang mengamanatkan bahwa tujuan utama zakat adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan penerima manfaat (Mustahiq).
Tika menginformasikan di Indonesia terdapat sekitar 12 ribu lembaga zakat, yang berfokus pada sektor pertanian dan ketahanan pangan sebagai kebutuhan pokok masyarakat.
Pemberdayaan mustahiq juga menjadi aspek penting dalam pengelolaan zakat, diharapkan tidak hanya bersifat konsumtif tetapi juga produktif agar memberikan nilai tambah dan efek berkelanjutan.
“Dalam tataran praktis, masih terdapat tantangan dalam mengintegrasikan skema pendanaan lembaga filantropi Islam dengan program MBG. Masih banyak masyarakat menolak ide bahwa dana yang telah mereka berikan digunakan untuk mendanai program pemerintah. Hal ini dikarenakan filantropi Islam harus tetap tersalur kepada yang berhak sesuai syariat Islam,” ujar Tika.
Pensyarah talkshow Ranah Publik Prof. Dr. H. Suparto Wijoyo, S.H., M.Hum mengungkapkan bahwa seharusnya tidak ada kompetisi antara pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan misi sosial.
“Sebagai muslim, bersama mitra muslim, saya mengucapkan terima kasih kepada negara untuk meneruskan program itu (MBG), tetapi amalnya jangan dimiliki sendiri. Maka dari itu melewati filantropi, kita punya kesempatan, bahwa kita berbagi itu bagian untuk amal personal kita dan keluarga kita juga,” jelas Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Unair tersebut.
Menurut Suparto, lembaga filantropi Islam dapat diintegrasikan untuk mendukung MBG.
“Hal ini bisa menjadi solusi strategis dalam mengatasi permasalahan gizi di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk merancang mekanisme yang sesuai agar dana filantropi dapat digunakan secara efektif tanpa menyalahi ketentuan syariah,” tutupnya.
Pewarta: Aisyah Nurjulita
Editor: Muhammad Nashir