Suaramuslim.net – Rasanya seperti ada hujan angka-angka beberapa pekan ini. Hujan yang mengabarkan “kemenangan” penguasa dan bersiap kali kedua memerintah republik ini. Prediksi lembaga-lembaga survei hadir seolah tanpa henti. Kebanyakan, yang hasilnya mengunggulkan jauh petahana, menebalkan optimisme pendukung kekuasaan; sebaliknya, menjadi tekanan sendiri bagi pengkritiknya.
Angka-angka statistik berikut istilah teknisnya bertebaran ke ruang publik. Menghadirkan simpulan bahwa pemilihan presiden Republik Indonesia praktis berakhir. Ya, tak harus menanti 17 April 2019 hasilnya sudah “pasti”. Elektabilitas petahana dengan dua digit dan berselisih jauh dari penantang seperti garansi ramalan lembaga-lembaga itu.
Memang, ada beberapa imbangan hasil dari lembaga yang dianggap bukan bagian dari kerja pembentukan opini rezim. Ada lembaga yang berani memprediksi petahana dalam posisi rawan. Kerawanan ini rasanya lebih logis melihat grusak-grusuknya tim penguasa menerabas pelbagai aturan. Semua seperti dibolehkan asalkan diperbuat kekuasaan. Bila saja hasil lembaga-lembaga survei yang mengugulkan petahana mestinya tidak perlu ada cemas dan sikap yang isyaratkan kasatmata adanya kepanikan.
Belakangan jajak pendapat sebuah harian yang acap dilabel kredibel pun menghadirkan titik rawan petahana. Angka di bawah 50% pun disusul kabar-kabar di balik kerja di harian tersebut. Semisal bahwa temuan lapangan itu sebentuk kompromi redaksi dengan tim petahana. Muasalnya, angka itu “kritis” dan rawan hadirkan kepanikan pasar ekonomi.
Di lain pihak, harian tersebut dikenali sebagai pendukung loyal kekuasaan—sesuatu yang berbeda dengan pakem independen yang pernah disandangnya. Adanya perubahan di politik redaksi harian ini untuk ke tengah (alih-alih bertahan ke status quo rezim) satu penanda bahwa ada pergeseran yang mengancam rezim saat ini.
Antara angka riil yang bisa dimaknai rawan lagi kritis, dengan angka melangit hasil rilis puluhan lembaga survei (yang sebagian di antaranya tidak menutup identitas sebagai bagian tim sukses rezim), jelas satu persoalan. Ada integritas yang dipertaruhkan kendati atas nama validitas ilmiah. Fenomena ini jelas hal menyedihkan. Demi memetik renten politik, banyak ilmuwan dan aktivis politik mendadak jadi artisan statistik. Mereka lansir temuan yang memuaskan kekuasaan. Dan mereka sesamanya bekerja tak ubahnya kartel statistik.
Kiranya tak salah kita renungi kata-kata Darrel Huff dalam Berbohong dengan Statistik (2002). “Bahasa rahasia statistik, yang begitu memukau bagi orang yang terbiasa dengan fakta,” kata Huff, “sering dimanfaatkan demi sensasi dan kekacauan, entah dengan melebih-lebihkan atau menyederhanakan kenyataan. Metode dan istilah statistik penting untuk melaporkan seabrek dan ekonomi dan sosial, bisnis, pendapat umu, dan sensus. Meskipun demikian, apabila penulisnya tidak menggunakan istilah tersebut dengan jujur dan penuh pengertian, serta apabila pembaca tidak memahami maksudnya, hasilnya hanyalah setumpuk omong kosong.”
Statistik yang sejatinya bisa dipakai untuk memberdayakan suara publik, di era sekarang justru menjadi senjata memukul lawan politik. Statistik menjadi arena menakuti publik dan membohongi dengan kenyataan palsu. Beginilah risiko sebuah kekuasaan yang fatamorgana: angka-angka statistika melegitimasi untuk berdusta.
Sungguh benar, daya rusak kekuasaan yang rusak bukan hanya dihadirkan oleh elemen di sekitar kekuasaan tapi juga oleh anasir berserpihan yang mendukung dan/atau menopang kekuasaan tersebut—seperti lembaga-lembaga survei cum konsultan rezim.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net