Suaramuslim.net – Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Appetite mengaitkan antara kebiasaan berbagi makanan saat kecil akan mempengaruhi seseorang saat dewasa. Kebiasaan member itu akan menjauhkan seseorang dari sikap egois dan mementingkan diri sendiri.
Peneliti University of Antwerp, Belgia, dalam riset ini melakukan survei terhadap 466 pelajar. Setiap partisipan ditanya seberapa sering mereka makan di rumah ketika masih anak-anak dan perilaku prososial (altruistik) mereka saat ini.
Hasilnya cukup mengejutkan, mereka yang lebih sering makan bersama orang lain serta berbagi makanan lebih banyak melakukan perbuatan baik di masa remajanya. Mulai dari menawarkan kursi di transportasi umum, membantu teman, sampai menjadi relawan.
Menurut Charlotte De Backer, pemimpin penelitian, berbagi makanan membuat orang berpikir tentang keadilan. “Berbagi makanan mengajarkan tentang keadilan, melayani, tidak mengambil makanan sesuai keinginan,” terang De Backer seperti dilansir laman TIME pada Selasa (11/11/2014).
Sementara itu, kikir bersifat antisosial, membuat seseorang bersifat acuh dan tidak punya empati pada orang lain dan lingkungannya. Kikir membuat seseorang lebih peduli pada dirinya sendiri dan tidak memikirkan orang lain. Kehangatan hubungan sesama saudara akan hancur oleh sifat kikir.
Kikir menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya terlampau hemat memakai harta bendanya, pelit. Sifat pelit ini tentu dapat menghalangi kita untuk menunaikan kewajiban baik kewajiban bersifat harta, benda, atau jasa.
Hal itu senada dengan pendapat Imam Ibnu Jauzi dalam kitabnya At-Thibbu Ar-Ruhi yang mendefiniskan kikir sebagai sifat enggan menunaikan kewajiban baik bersifat harta, benda maupun jasa.
Menurut F. Diane Barth, seorang psikolog, pelit atau kikir memiliki 2 karakteristik yang terkait yaitu, terlalu mementingkan diri sendiri atau egois dan apatis atau tak memiliki kesadaran atau perasaan untuk membantu orang lain. Menurutnya, orang-orang seperti ini tak akan membutuhkan orang lain kalau mereka sendiri tidak punya kebutuhan kepada orang lain tersebut. Dampak dari 2 karakteristik tersebut dapat menjadi awal mula munculnya sifat kikir atau pelit pada seseorang seperti yang telah diungkap di atas.
Sering Tak Pedulikan Lingkungan Sekitar
Lalu, bagaimana kita bisa mengenali ciri-ciri orang egois dan apatis? Menurut Michele Borba, seorang penulis dan psikolog yang punya ketertarikan di dunia parenting ini mengatakan bahwa orang yang egois dan apatis biasanya tidak mau menjadi bagian dari sekitarnya dan ia selalu berusaha agar segala sesuatu keinginannya tanpa mempedulikan perasaan orang lain.
Untuk menghindarkan dari sifat egois yang membentuk kekikiran, Timothy Wibowo seorang pakar pendidikan karakter juga menyarankan dengan pendidikan karakter sedini mungkin. “Pendidikan karakter difokuskan pada 3 hal, diri sendiri, sosial, dan Tuhan,” ujarnya.
Dengan 3 dasar pendidikan karakter ini bukan tidak mungkin bahwa mereka akan senantiasa memiliki sifat yang positif. Untuk itu pendidikan karakter sangat penting agar dapat mencegah sifat egois dan apatis yang mengawali munculnya sifat kikir pada seseorang.
Islam adalah agama rahmatal lil ‘alaamiin, agama yang tidak hanya berdimensi vertikal, yang hanya berkomunikasi dengan Tuhannya tanpa mempedulikan lingkungannya. Islam adalah agama yang menjaga keseimbangan antara vertikal dan dan horizontal. Artinya, hubungan antar manusia menjadi hal yang sangat penting.
Kikir adalah hal yang terlarang, karena sifat ini mengganggu hubungan dengan sesama. Al Quran surat At Taubah ayat 35 sudah dijelaskan adzab bagi orang kikir, ”Pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya di dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka,”Inilah harta bendamu yang kamu simpan untukmu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.””
Karenanya, amat sangat penting bagi kita untuk mencegah 2 sifat ini, egois dan apatis agar terhindar dari sifat kikir. Imam Ibnu Jauzi juga memberikan obat penangkal agar dapat terhindar dari sifat kikir. Yang pertama, senantiasa merenungi bahwa mereka yang tidak mampu juga masih merupakan saudara kita. Karena, manusia berasal dari nenek moyang yang sama, Nabi Adam ‘alaihissalam. Dengan itu, empati akan terbangun, sifat kikir sedikit demi sedikit akan hilang.
Cara kedua dengan mensyukuri atas segala kelebihan yang telah diberikan Allah subhanahu wa ta’ala. Bersyukur dan memahami bahwa semua harta yang didapat adalah milik Allah yang dipinjamkan kepada hamba-Nya, yang bisa ditambah dan dihilangkan oleh pemiliknya kapanpun. Dengan begitu, manusia akan lebih mudah memberi.
Kontributor: Ilham Prahardani
Editor: Oki Aryono