Suaramuslim.net – Di ruang publik, statistik ekonomi sering disajikan seperti mantra teknokratis: headline inflation, core inflation, YoY, MoM, q/q, dan macam-macam angka yang tampak rumit.
Namun sebenarnya, memahami kesehatan ekonomi tidak selalu membutuhkan kalkulator canggih. Cukup satu indikator paling sederhana dan paling jujur: ‘harga beras.’
Mengapa?
Karena beras adalah komoditas tier 1, barang kebutuhan primer yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk. Ketika beras naik, dampaknya merembes ke semua lapisan ekonomi: daya beli, upah, konsumsi, hingga stabilitas sosial.
Dan yang paling penting: beras tidak bisa “direkayasa” dengan narasi politik seperti angka-angka statistik lain. Ia bicara apa adanya.
Jika kita memakai 2013 sebagai benchmark, bukan year-to-year yang sering menipu, maka lonjakan harga beras antara 2013 hingga 2025 mencerminkan inflasi struktural yang jauh lebih tinggi dari klaim resmi pemerintah.
Contoh sederhana (angka rata-rata nasional):
Harga beras 2013: sekitar Rp7.300–7.500/kg. Harga beras 2025: berkisar Rp14.000–17.000/kg (medium), bahkan beberapa daerah menembus di atas itu. Artinya, dalam 12 tahun, harga beras naik sekitar dua kali lipat.
Bandingkan dengan klaim inflasi resmi pemerintah yang hanya sekitar 3–5% per tahun. Secara matematis, angka tersebut tidak selaras dengan fakta di lapangan.
Perbedaan ini bukan kesalahan rakyat yang “tidak paham statistik”, tetapi akibat cara pemerintah menyajikan inflasi secara year-to-year, sehingga lonjakan besar menjadi kabur oleh jeda waktu. Mengukur harga beras dari 2013 ke 2025 adalah cara rakyat mengukur inflasi secara real, bukan secara administratif.
Mengapa 2013 adalah benchmark yang jujur? Karena Tahun 2013 adalah tahun sebelum ada depresiasi rupiah besar-besaran, subsidi energi belum dicabut, belum pelemahan fiskal struktural, impor pangan belum meningkat, belum ada krisis global berlapis (2020, 2022, 2024). Maka ia menjadi cermin stabilitas terakhir, baseline yang masih normal.
Jika harga beras naik dua kali lipat sejak baseline itu, maka: daya beli turun, beban hidup naik, kualitas konsumsi menurun, kemiskinan terselubung meningkat, tabungan rumah tangga habis. Semua itu tidak tertangkap oleh grafik YoY yang tampak rapi.
Mengapa YoY itu menyesatkan?
Inflasi YoY hanya membandingkan harga saat ini dengan harga 12 bulan lalu. Jika tahun lalu harga sudah tinggi, maka inflasi terlihat kecil, padahal masyarakat sudah lama hidup dalam harga tinggi.
Analoginya:
* Tahun 2013 → beras Rp7.500
* Tahun 2024 → beras Rp15.000
* Tahun 2025 → beras Rp16.000
Secara YoY, inflasi 2025 hanya 2-3%. Tapi secara real, harga sudah naik 110% sejak 2013. Ini seperti naik gunung 3.000 meter, lalu diberitahu bahwa “sekarang kenaikannya cuma 50 meter, kok”. Betul, tapi para penguasa lupa bahwa kami, rakyat sudah di puncak, kehabisan napas.
Banyak pejabat suka menggunakan istilah rumit untuk menyembunyikan kenyataan. Padahal ekonomi dasar hanya bertumpu pada tiga hal:
(1) Berapa biaya hidup rakyat naik? Lihat harga beras, telur, minyak, listrik, transportasi.
(2) Berapa pendapatan rakyat naik? Upah Honor petani? Pendapatan informal?
(3) Apakah gap-nya makin melebar? Kalau harga naik lebih cepat daripada pendapatan, negara sedang mengalami inflasi kesejahteraan negatif.
Jadi tidak perlu statistik rumit.
Ekonomi bukan hanya angka. Ia adalah apa yang ibu-ibu, emak-emak rasakan ketika membeli beras, apa yang sopir ojek bayar untuk BBM, apa yang petani dapat saat menjual gabah, apa yang anak-anak kita makan setiap hari.
Jika negara ingin dipercaya, transparansinya harus berangkat dari kenyataan hidup, bukan dari tabel rumit yang dibuat untuk menenangkan pasar.
Ketika statistik resmi mengatakan inflasi rendah, tapi dompet rakyat mengatakan inflasi tinggi, maka yang salah bukan rakyat, yang salah adalah cara kita membaca data. Karena pada akhirnya, ekonomi yang sehat bukan yang terlihat indah di layar presentasi, tetapi yang terasa ringan di dapur rumah tangga.
Selama harga beras terus naik lebih cepat daripada pendapatan rakyat, maka inflasi sesungguhnya tetap tinggi, meski grafik pemerintah tidak mengakuinya.
Cak Bonang
Aktivis. Srawungan Arek Kampung Suroboyo
Jumat berkah, 14 November 2025
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

