Ekonomi umat dan kelas menengah muslim dalam arah pembangunan nasional

Ekonomi Syariah, Agar Hidup Lebih Berkah

Suaramuslim.net – Ekonomi umat selalu menjadi frasa yang akrab di telinga publik, tetapi sering kali kehilangan kejelasan operasionalnya. Siapa yang dimaksud umat? Sektor apa yang diperkuat? Instrumen apa yang dipakai? Dan bagaimana hubungannya dengan arah pembangunan nasional di bawah pemerintahan baru?

Pertanyaan–pertanyaan itu penting karena Indonesia telah memasuki babak baru: negara dengan kelas menengah Muslim terbesar dan paling dinamis di dunia, dengan tuntutan kesejahteraan, mobilitas sosial, dan literasi ekonomi yang semakin tinggi. Di sinilah ICMI memiliki ruang aktual untuk kembali memainkan fungsi strategisnya.

Kelas menengah Muslim hari ini bukan lagi kategori pasif. Mereka berpendidikan, terkoneksi digital, konsumtif tetapi juga aspiratif, religius namun tetap modern, serta semakin sadar akan pentingnya kemandirian ekonomi.

Mereka menggerakkan pasar halal, pariwisata ramah syariah, filantropi Islam produktif, kewirausahaan berbasis teknologi, industri makanan-minuman bersertifikasi, hingga ekonomi haji dan umrah yang bernilai triliunan rupiah per tahun.

Sayangnya, potensi besar ini belum sepenuhnya berada dalam kerangka kebijakan yang terarah dan terukur untuk memperkuat posisi ekonomi umat secara nasional.

Pemerintahan Prabowo telah menegaskan orientasi pembangunan ke depan: industrialisasi hilir, ketahanan pangan, kedaulatan energi, pemerataan wilayah, digitalisasi, dan penguatan UMKM. Ini adalah kata kunci penting yang seharusnya menghubungkan aspirasi ekonomi umat dengan arah pembangunan negara.

Masalahnya,  jembatan pengetahuan—atau knowledge bridge—antara kebijakan publik dan realitas sosial-ekonomi Muslim sering kali renggang. Di sinilah ICMI harus hadir, bukan sekadar sebagai pemberi wacana, tetapi sebagai interpreter, policy translator, dan agenda setter.

Tiga bingkai ekonomi umat

Ekonomi umat tidak boleh lagi direduksi menjadi narasi karitatif, slogan emosional, atau romantisme sejarah. Ekonomi umat harus dibaca dalam tiga bingkai baru.

Pertama, economic empowerment, memberdayakan daya saing pelaku usaha Muslim, bukan hanya memperbanyak jumlah pelaku usaha tanpa peningkatan kualitas.

Kedua, market inclusion, memastikan akses terhadap pasar modern, teknologi, pembiayaan, sertifikasi halal, dan rantai pasok nasional.

Ketiga, social mobility, menciptakan loncatan kelas sosial melalui pendidikan, inovasi, dan literasi finansial.

Tiga bingkai ini selaras dengan visi pembangunan nasional, dan ICMI dapat menjadi pemandu konsepnya.

Kelas menengah Muslim Indonesia sebenarnya sudah memiliki modal sosial besar: jejaring masjid, pesantren modern, organisasi keagamaan, kampus, komunitas digital, hingga gerakan filantropi zakat–infak–wakaf. Namun modal sosial tidak otomatis menjadi modal ekonomi kecuali ada orkestrasi.

Di sinilah ICMI dapat memainkan fungsi kurasi, koordinasi, dan katalisasi, tiga fungsi yang selama ini jarang disentuh organisasi lain.

ICMI memiliki keunggulan unik: himpunan cendekiawan, akademisi, profesional, teknokrat, birokrat, pengusaha, dan ilmuwan yang mampu memadukan nalar ekonomi dengan etika Islam dan visi kebangsaan.

Kontribusi konkret ICMI untuk ekonomi umat

Dalam konteks pemerintahan baru, ada sedikitnya lima kontribusi konkret yang dapat dilakukan ICMI.

Pertama, menyusun white paper ekonomi umat yang kompatibel dengan agenda pembangunan nasional, bukan dokumen normatif, tetapi rekomendasi teknokratis yang dapat diadopsi kementerian dan lembaga.

Kedua, membangun pusat kajian kelas menengah Muslim untuk memetakan tren konsumsi, mobilitas sosial, dan peluang industri halal.

Ketiga, menginisiasi inkubasi UMKM berbasis sains dan teknologi di kampus dan pesantren.

Keempat, mengembangkan platform literasi dan investasi syariah agar kelas menengah tidak terjebak spekulasi digital.

Kelima, memperkuat diplomasi ekonomi halal Indonesia di tingkat ASEAN dan global.

Semua langkah itu hanya mungkin jika ICMI memposisikan diri sebagai mitra kritis–konstruktif bagi pemerintah.

Kritis agar suara rakyat, moralitas publik, dan keadilan ekonomi tetap terjaga. Konstruktif agar energi intelektual tidak berakhir sebagai komentar, tetapi terwujud sebagai kebijakan dan program.

Sikap ini bukan posisi politik, tapi tanggung jawab peradaban. ICMI lahir untuk memastikan bahwa iman, ilmu, dan kemajuan tidak saling meniadakan, tetapi saling menguatkan.

Kelas menengah Muslim ke depan akan menentukan wajah Indonesia: apakah lebih adil, produktif, berdaulat, dan inovatif, atau justru rentan terhadap polarisasi, hoaks ekonomi, dan jebakan konsumsi. Karena itu, keberadaan ICMI bukan nostalgia, tetapi kebutuhan zaman.

Organisasi ini harus kembali menjadi laboratorium gagasan dan mesin sintesis, menghubungkan kepentingan umat dengan arah pembangunan nasional.

Ekonomi umat bukan milik satu kelompok, tetapi bagian dari proyek besar: menjadikan Indonesia bangsa maju yang berakar pada nilai, berorientasi ilmu, dan berpihak pada kemaslahatan.

Seri #4 – Road to Milad & SILAKNAS ICMI Bali, 5–7 Desember 2025

Ulul Albab 
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.