Suaramuslim.net – Mengkaji agama merupakan suatu aktivitas yang serius. Tiap muslim tidak boleh menghabiskan umurnya tanpa sama sekali mengkaji agama. Tanpa fondasi dan wawasan ilmu agama yang cukup, niscaya bisa terjerumus ke dalam penyimpangan (kesesatan). Pada zaman sekarang mengkaji agama bisa dilakukan dengan sedikitnya 4 metode, yaitu : Tallaqi (belajar langsung kepada ulama terpercaya), Rihlah (melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mencari ulama), Islamologi (meneliti agama Islam semata-mata keperluan akademik) dan Oksidentalisme (mendalami agama Islam untuk mengkritisi berbagai teori-teori para Orientalis).
Metode pertama dan kedua kebanyakan dipraktekkan kalangan pesantren. Perlu waktu yang lama, daya hafalan yang bagus dan kesabaran yang luar biasa jika menempuh dua metode yang pertama. Muslim pada zaman sekarang yang berani menempuh metode Tallaqi dan Rihlah menghasilkan karya tulis berupa kitab matan, syarah, dan hasyiyah.
Adapun metode yang ketiga dan keempat dipraktekkan mahasiswa, profesor hingga peneliti di suatu lembaga think tank. Waktu yang dibutuhkan berkisar 4 hingga 12 tahun, kemampuan menguasai teori-teori ilmiah dan kewajiban publikasi karya tulis di jurnal bergengsi, simposium maupun konferensi bertaraf internasional. Hanya saja, menerapkan metode apapun dibolehkan, asalkan memperhatikan 4 syarat berikut ini:
1) Diawali dengan Doa
Sebelum mengkaji atau mempelajari ilmu apapun, tiap muslim wajib berdoa kepada sang Maha Pemilik Ilmu. “Rabbi zidnii ‘ilmaa…” wahai rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu. Doa ini termasuk doa paling banyak dibaca sejak taman kanak-kanak, selain doa-doa lain seperti doa mau makan dan doa akan pulang. Dengan doa ini, murid di sekolah formal maupun santri di pondok pesantren akan bertambah hafalan dan wawasannya. Hal-hal seperti ini tidak akan diajarkan para orientalis.
2) Bukan dengan taqlid buta
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya…” (Surah al-Isra’ ayat 36). Seruan dalam ayat ini sering diabaikan oleh muslim yang awam. Apalagi bermunculan informasi atau kabar bohong (hoax). Tanpa tabayyun terlebih dulu, sebagian muslim terburu-buru dalam mempraktikkan doktrin agama bahkan menyebar informasi terkait ilmu agama.
Misalnya informasi tentang kisah KH Ahmad Dahlan yang berguru kepada Syeikhona Muhammad Khalil, Bangkalan. Informasi ini terlanjur viral di media sosial pada tahun 2015-2016. Padahal jika diperiksa melalui buku Dari Haramain ke Nusantara karya Dr Abdurrahman Mas’ud, Syeikh Khalil tidak pernah memiliki santri yang bernama Ahmad Darwis atau yang populer dengan nama KH Ahmad Dahlan.
3) Bertanya kepada Ahlinya
Mengkaji ilmu agama supaya tidak asal mengikuti informasi atau pengetahuan yang tidak jelas, maka wajib bertanya kepada ahlinya. “…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (Surah An Nahl ayat 43). Tentu saja yang punya pengetahuan dalam hal ilmu agama adalah ulama (lihat surah Fathir ayat 28).
Tiap muslim yang kategori awam dalam ilmu agama tak perlu malu bertanya kepada ulama. Ingat, ulama, bukan Ustadz atau Kyai. Seorang ustadz, ustadzah bahkan kyai belum tentu disebut ulama. Di Surakarta ada namanya Kyai slamet, dia kerbau yang dikeramatkan tiap malam 1 Suro.
“Malu bertanya, sesat di jalan” begitu kata pepatah. Seperti apa ulama yang bisa dijadikan tempat bertanya dan mengkaji ilmu agama? Tentunya ulama yang benar-benar kompeten di bidangnya. Misalnya ingin tahu caranya mengetahui hilal, maka bertanyalah kepada ulama yang ahli ilmu Falak. Jangan bertanya kepada ulama yang ahli di bidang filsafat Islam.
Seorang ulama bukan hanya tentang kepakarannya, tetapi harus dilihat bagaimana kondisi dirinya berserta keluarga di kehidupan nyata. Misalnya ada ulama yang anak perempuannya tidak berhijab, maka percuma saja bertanya kepadanya tentang persoalan hijab. Makin salah alamat jika menanyakan tafsir surah Al Maidah ayat 51 kepada ulama yang menjadi tim sukses pemimpin kafir. Jawaban atau fatwa yang dihasilkan ulama seperti itu tidak bermanfaat bahkan berlawanan dengan ijma’ ulama ahlu sunnah.
4) Bukan Berpedoman kepada Peninggalan Leluhur
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?“ (Surah Al Baqarah ayat 170)
Dalam ayat tersebut, syarat mengkaji ilmu agama adalah berpedoman kepada apa yang diturunkan oleh Allah swt. Yang diturunkan kepada muslim adalah Al Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Dengan dua hal tersebut niscaya orang zaman sekarang hingga hari akhir mendapat petunjuk yang benar. Misalnya petunjuk memilih jodoh (calon menantu). Berdasar sabda Rasulullah saw, diutamakan memilih berdasar agamanya. Akan tetapi jika mengikuti tradisi leluhur, bisa saja memilih calon menantu berdasarkan kecocokan weton (tanggal lahir). Wallahu’allam.
Kontributor: Fadh Ahmad Arifan
Editor: Oki Aryono