Suaramuslim.net – Phobia terhadap simbol Islam kembali menyeruak. Kalau dahulu, pelaku phobia itu orang-orang kafir, maka saat ini pelakunya justru orang muslim sendiri. Hal ini tidak lepas dari konteks dan arus politik yang sangat tepat untuk memojokkan Islam. Apa yang dialami oleh Enzo Zens Allie merupakan sebuah contoh empirik di mana dia menjadi bahan pembullyan hanya karena status facebooknya yang memegang bendera bertuliskan kalimat tauhid (Laa ilaha illallah).
Yang lebih mengenaskan, Enzo Allie dianggap terpapar paham radikal, sehingga harus disingkirkan dari taruna akademi militer (Akmil). Padahal TNI sudah memiliki mekanisme untuk bisa membaca ideologi calon taruna atau anggotanya, apakah membahayakan negara atau tidak.
Enzo Allie dan Isu Terpapar Gerakan Radikal
Sebagaimana tersebar di media sosial bahwa Enzo Zens Allie, telah lolos seleksi akhir dan dinyatakan lulus sehingga resmi taruna Akmil. Lelaki berusia 18 tahun ini memiliki ayah kandung asal Perancis dan ibu dari Sunda ini sempat viral karena kemampuan Bahasa Perancis, Inggris dan Jerman. Hanya karena akun facebooknya yang memegang bendera tauhid, sehingga dikaitkan dengan gerakan radikal. Bahkan mengaitkan orang tuanya yang bersimpati dengan HTI, sehingga muncul berbagai pernyataan yang meminta Enzo untuk dibatalkan.
Tidak kurang sejumlah pihak mengeluarkan pernyataan yang mengarah perlunya pemeriksaan ulang terhadap Enzo. Hal ini untuk menelusuri apakah Enzo terpapar ideologi radikal atau tidak. Sehingga apabila terpapar berpaham radikal maka Panglima TNI diminta untuk mempertimbangkan ulang atau membatalkannya sebagai taruna Akmil.
Menyebarkan kasus Enzo ini semakin memanas ketika Mahfud MD, menyatakan bahwa TNI kecolongan karena menerima taruna Akmil yang berpaham membahayakan negara. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu beralasan bahwa latar belakang orang tua Enzo harus ditelusuri karena bersimpati terhadap paham radikal, sehingga TNI harus mengambil tindakan dengan menganulir nama Enzo. Mahfud secara meyakinkan bahwa latar belakang orang tuanya yang terlibat ideologi yang bertolak belakang dengan Pancasila.
Beruntung, pihak TNI sebagaimana yang dipaparkan juru bicara (jubir) Badan Inteligen Negara (BIN), Wawan H Purwanto bahwa Enzo sudah lolos 9 tahap seleksi. Bahkan, dia menyatakan tidak ingin berasumsi apalagi terlibat fitnah sehingga harus objektif dalam menilai. Dia menyerahkan sepenuhnya pada TNI untuk mengambil keputusan. Pihak Pusat Penerangan (Puspen), sebagaimana yang dinyatakan oleh Mayjend Sisriadi bahwa Enzo tidak terpapar radikalisme karena TNI memiliki sistem seleksi yang berbeda dengan yang lain. TNI memiliki mekanisme untuk melihat mental ideologi calon taruna, mulai dari tes tertulis, wawancara hingga media sosial calon taruna Akmil.
Stigma Radikal dan Anti Islam
Gelombang phobia dan anti Islam kembali menyeruak. Kali ini menerpa seorang pemuda muslim bernama Enzo. Pria yang berkeinginan menjadi prajurit TNI yang salih itu menjadi korban kebencian hanya gara-gara memegang bendera tauhid. Yang memprihatinkan, suara lantang yang mempersoalkan dan mengaitkan Enzo dengan gerakan radikal adalah sosok intelektual muslim, Mahfud MD. Seolah dirinya tahu secara mendalam bahwa negara dalam bahaya bila sosok Enzo dibiarkan berkarier di TNI, dan ideologi negara dalam ancaman bila tidak segera mencoret nama Enzo.
Kekhawatirannya terhadap Enzo dan mengaitkannya dengan HTI sungguh sangat berlebihan. Seolah yakin sekali bahwa HTI jauh lebih berbahaya dari PKI. Kegelisahan dan kekhawatiran PKI tidak pernah terungkap secara eksplisit, tetapi yang dimunculkan justru ketakutan terhadap HTI. Kalau mengaitkan Enzo dengan gerakan HTI karena dia memiliki seorang ibu yang bersimpati terhadap HTI, mengapa tidak ada yang menyuarakan anak-anak PKI yang sudah menjadi anggota DPR. Bahkan sebagai anak PKI mereka begitu bangga pada organisasi orang tuanya. Padahal PKI adalah orpol terlarang dan telah terbukti berkali-kali berupaya mengganti ideologi Pancasila.
Kalaupun Enzo Allie dianggap terpapar gerakan radikal, ssudah seharusnya menjadi tugas TNI untuk membina dan meluruskannya. Buan secara tiba-tiba, dengan hanya berbekal asumsi langsung membunuh karier seseorang yang memiliki prestasi yang baik. Memecatnya justru akan menyakitkan hatinya. Hal ini justru berpotensi buruk, karena telah menyakiti hatinya, sehingga terjadi hal-hal yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Dengan diterima sebagai taruna Akmil, maka Enzo bisa diarahkan ke jalan yang benar sehingga negara akan diuntungkan dengan presstasinya. Dengan prestasinya, bisa menjadi contoh bagi pemuda-pemuda yang lain untuk berkarier di TNI.
Memang sangat terburu-buru dan naif mengaitkan bendera berlafadz tauhid dengan radikalisme. Bahkan mengaitkannya dengan kelompok terorisme hanya karena menggunakan simbol yang mirip. Karena bendera bertuliskan kalimat tauhid itu milik semua umat Islam sehingga siapapun berhak mengagungkan kalimat itu.
Fenomena Enzo ini membuka tabir bahwa ada kelompok yang alergi terhadap Islam yang bisa menggerakkan orang-orang Islam untuk memantik permusuhan terhadap sesama Islam. Mengaitkan seseorang yang terpapar radikal memang sangat tepat momentumnya di kala banyak pihak yang senang ketika Islam terpojok. Dengan demikian hantu berupa stigma radikal masih potensial untuk berperan penting dalam memecah belah Islam. Mudah-mudahan umat Islam senantiasa sadar bahwa ada berbagai upaya dari kelompok phobia Islam yang terus membenturkan antar umat Islam dan menginginkan antar umat Islam terlibat konflik berkepanjangan.
Ketika sesama umat Islam terlibat konflik dan berbenturan terus-menerus, maka kelompok non-muslim atau mereka yang phobi terhadap Islam, akan mengambil keuntungan baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net