Suaramuslim.net – Beberapa waktu belakangan ini, kata hijrah begitu populer di kalangan muslim tanah air. Tak sedikit akun media sosial serta warga dunia maya yang menyebarluaskan kata tersebut di laman media sosial mereka untuk mengajak berhijrah dan berubah ke arah yang lebih baik. Namun demikian, bagaimana sesungguhnya makna hijrah yang sesungguhnya?
Kata hijrah berasal dari istilah hajara, yang berarti berpindah dari satu tempat atau keadaan ke tempat atau keadaan yang lain. Sedangkan secara bahasa, hijrah berarti berpindah, meninggalkan, berpaling, dan tak mempedulikan lagi. Hijrah mempunyai beberapa pengertian. Pertama, kaum muslim meninggalkan negerinya yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan kafir. Kedua, menjauhkan diri dari dosa. Ketiga, permulaan tarikh Islam. Ustaz Nuzul Dzikri dalam kajian Islam yang diselenggarakan oleh ASIA (Alumni Sekolah Islam Al Azhar) menjelaskan tentang hijrah.
Dalam kesempatan tersebut, dia menuturkan, hijrah adalah sebuah kata yang sangat prestisius dalam Islam. Sebab, dengan berhijrah, seseorang akan mendapatkan banyak kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengatasi berbagai persoalan hidupnya.
Allah berfirman, “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan jalan keluar yang banyak (atas urusan-urusan yang ia tinggalkan). Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah ditetapkan pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS an-Nisa [4]: 100).
Dia mengatakan, dalam proses berhijrah, sebagian orang mungkin akan menghadapi ujian atau tantangan yang cukup berat. Ada yang harus jatuh dahulu sebelum bangkit menuju episode kehidupan selanjutnya. Ada pula yang harus melawan berbagai macam godaan duniawi yang bisa menjerumuskannya kembali ke kubangan dosa. Bagi mereka yang beriman, di balik semua ujian itu selalu ada hikmah yang dapat mereka ambil.
Hijrah di Zaman Rasulullah
Hijrah dalam sejarah Islam biasanya dihubungkan dengan kepindahan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam dari Makkah ke Madinah. Dalam hubungan ini, hijrah berarti berkorban demi Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu memutuskan hubungan dengan yang paling dekat dan dicintai demi tegaknya kebenaran, dengan jalan berpindah dari kampung halaman ke negeri orang lain.
Hijrah seperti ini telah menjadi pusaka para rasul sebelum Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dan terbukti telah menjadi babak pendahuluan bagi kebangkitan perjuangan.
Dalam menjalankan tugas kerasulannya di Makkah, Rasulullah berhadapan dengan masyarakat jahiliah, yakni masyarakat pemeluk nilai-nilai warisan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, yang telah mereka kesampingkan dari bentuk yang sebenarnya. Inti warisan itu adalah pengesaan terhadap Allah. Pada saat itu, penyembahan terhadap berhala dan perbuatan syirik lainnya telah merusak ajaran tauhid.
Nama Allah, meskipun masih ada dalam kepercayaan mereka, telah tenggelam dalam nama-nama dan sembahan lainnya. Kepercayaan semacam ini telah mengundang banyak pemeluknya untuk datang ke Kakbah, demi menunaikan ibadah haji sambil berdagang. Sehingga, Makkah menjadi pusat perdagangan yang ramai dikunjungi para pengunjung.
Rasulullah bersama para sahabatnya mendapat perlakuan buruk dan kasar dari orang-orang Quraisy yang masih kafir. Umat Muslim dikejar-kejar dan dianiaya. Ketika melihat kondisi Makkah tak lagi aman bagi umatnya, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam mengizinkan sebagian pengikutnya untuk mencari keamanan di negeri Abessinia (Ethiopia), yang penduduknya beragama Nasrani, dan rajanya bernama Najasyi (Negus), yang dikenal adil dan bijaksana.
Setelah Perjanjian Aqabah, Rasulullah menyiapkan Hijrah ke Yatsrib secara matang. Sebab, target utama kaum musyrik Makkah adalah menggagalkan hijrah kaum muslim. Rasulullah menyiapkan bekal, kendaraan, penunjuk jalan, strategi, dan rute yang akan ditempuh. Beliau juga meminta Abu Bakar ash-Shiddiq dan seorang pemandu jalan yang bernama Abdullah bin Uraiqit untuk menemaninya.
Rasulullah meninggalkan rumah pada malam hari di 27 Shafar tahun ke-13 kenabian, atau bertepatan dengan 12 atau 13 September tahun 622 Masehi. Perjalanan awal keluar Makkah justru menempuh jalan yang berlawanan dengan jalan menuju Madinah. Hal ini dimaksudkan untuk mengecoh para pengejar. Gua Tsur adalah tempat tujuan mereka. Di gua ini mereka bermalam selama tiga hari. Kaum musyrik Quraisy sempat mengejar, tetapi keberadaan Rasulullah dan Abu Bakar di dalam gua tidak diketahui mereka.
Rasulullah tiba di Yatsrib pada Jumat 12 Rabiul Awal di tahun yang sama. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam disambut penduduk Madinah dengan meriah.
Kontributor: Ilham Prahardani
Editor: Oki Aryono