SURABAYA (Suaramuslim.net) – Puluhan massa yang mengatasnamakan Gerakan Masyarakat Jatim (GEMAS JATIM) melakukan aksi di depan kantor DPRD Jatim, Selasa (17/9). Mereka mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) segera disahkan.
Atas dasar banyaknya kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak di Jawa Timur pada tahun 2018 sejumlah 1.588 kasus. Sedangkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat tahun 2018 jumlah kasus yang dilaporkan meningkat 14%.
Antara lain kasus KDRT ada 9.637 kasus (71%), kasus kekerasan terhadap perempuan 16 kasus (0,1%) dan kasus kekerasan seksual 3.915 kasus (28%). Sebanyak 3.819 kasus kekerasan seksual yang terjadi antara lain 1.136 kasus pencabulan, 726 kasus perkosaan, 394 kasus pelecehan seksual dan 156 kasus persetubuhan.
Menurut Koordinator GEMAS Jatim, Nunuk Fauziyah, pihaknya menagih janji DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang tak kunjung disahkan dan terkesan mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan yang kurang masuk akal.
“Kami minta DPRD Jatim ikut juga mendorong agar RUU P-KS disahkan segera,” ujarnya di sela aksi, Selasa (17/9).
Sementara itu, salah satu anggota DPRD Jatim dari Fraksi Partai PDIP Perjuangan Hari Putri Lestari mengatakan tak kunjung disahkannya RUU P-KS tersebut bisa dikatakan telah mempermainkan dan menyakiti perasaan seluruh korban di Indonesia.
“Bagi kami RUU P-KS memberikan payung hukum untuk dapat mencegah dampak kekerasan seksual yang berjangka panjang,” ungkapnya.
Diungkapkan oleh wanita yang juga aktivis perburuhan ini, RUU P-KS adalah solusi atas situasi darurat kekerasan seksual di mana dari data Komnas Perempuan merilis catatan tahun 2018 jumlah kekerasan seksual naik menjadi 406.178 dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 348.466.
Sebelumnya, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) mendorong perubahan RUU P-KS ini menjadi RUU Kejahatan Seksual.
Pasalnya, sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur tentang kekerasan seksual, sehingga kata penghapusan pada RUU ini tidak tepat.
“Sebaiknya kata penghapusan ditiadakan saja. Yang lebih tepat memang kejahatan seksual. Cakupannya lebih luas dan dalam,” ujar Wakil Ketua Umum ICMI, Sri Astuti Buchari dalam diskusi media dialektika di Euro Management, Jakarta Pusat, Senin (5/8).
Sejumlah masyarakat pada Senin (26/8) juga mendatangi Gedung DPR RI meminta pembahasan RUU ini dihentikan. Organisasi seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Aliansi Cerahkan Negeri (CAN), Komunitas Perempuan Indonesia Sehat (KPIS) dan Lawan Kejahatan terhadap Perempuan (LAMPU) menganggap RUU ini mengabaikan falsafah Pancasila dan menggantinya dengan falsafah Feminisme.
Selain itu mereka menyebut, RUU P-KS berpotensi menyuburkan penyimpangan seksual (LGBTQ) dan perzinaan.
Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir