Growth mindset, proses belajar yang memanusiakan di tengah keragaman anak

Growth mindset, proses belajar yang memanusiakan di tengah keragaman anak

Anak-anak Pulau Sebira. Foto: Hairilsaleh.

Suaramuslim.net – Ancaman kekerasan terhadap anak semakin semakin bervariasi, salah satunya ketidaktepatan dalam pendekatan proses, akan berakibat anak mengalami kegagalan bertumbuh.

Pendidikan modern menghadapi tantangan sekaligus peluang besar dalam merangkul keragaman siswa. Setiap anak adalah individu unik dengan potensi, minat, dan latar belakang yang berbeda. Dalam konteks ini, konsep growth mindset yang diperkenalkan oleh Carol Dweck menjadi landasan penting bagi guru untuk menciptakan proses belajar yang inklusif dan memberdayakan.

Hal yang sama yang berlaku pada pendekatan “Deep Learning”, yang menekankan pada proses, bagaimana menghargai proses, karena hasil adalah akibat dari sebuah proses yang dilakukan.

Growth mindset adalah pola pikir yang meyakini bahwa kemampuan dapat dikembangkan melalui usaha, strategi yang tepat, dan lingkungan yang mendukung. Dengan pendekatan ini, guru tidak hanya mendidik siswa secara akademis, tetapi juga membangun karakter yang tangguh, adaptif, dan siap menghadapi tantangan.

Prinsip growth mindset dalam keragaman

Keyakinan akan potensi semua anak

Guru harus percaya bahwa setiap anak, terlepas dari perbedaan kemampuan atau latar belakang, memiliki kapasitas untuk berkembang. Hal ini menciptakan dasar untuk pendekatan pendidikan yang adil dan inklusif.

Fokus pada proses, bukan hasil akhir

Menghargai usaha, ketekunan, dan strategi yang digunakan siswa jauh lebih penting daripada sekadar menilai hasil akhir. Pendekatan ini memberikan motivasi yang sama bagi semua anak, tanpa memandang kemampuan awal mereka.

Keunikan sebagai aset pembelajaran

Keragaman di kelas, baik dalam gaya belajar, budaya, atau kecerdasan, harus dilihat sebagai kekayaan yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya proses belajar.

Strategi membangun growth mindset dalam keragaman

Pendekatan individual yang responsif

Guru harus mengenali kebutuhan, minat, dan potensi unik setiap siswa melalui asesmen awal atau observasi. Pendekatan ini memungkinkan pembelajaran yang personal, di mana tantangan disesuaikan dengan kemampuan siswa.

Menyediakan pilihan dan fleksibilitas

Anak-anak dengan gaya belajar yang berbeda perlu diberikan kebebasan untuk memilih cara belajar yang sesuai. Dalam sebuah proyek, misalnya, siswa dapat memilih untuk membuat presentasi, menulis esai, atau menyusun karya seni.

Mendorong kolaborasi di kelompok heterogen

Kerja sama dalam kelompok yang beragam mendorong siswa untuk belajar dari satu sama lain. Misalnya, siswa dengan kemampuan analitis yang baik dapat membantu teman yang lebih unggul secara visual, sehingga keduanya saling melengkapi.

Menghargai kesalahan sebagai bagian dari proses

Guru harus mengajarkan bahwa kesalahan adalah langkah penting dalam pembelajaran. Dalam diskusi kelas, siswa diajak untuk menganalisis kesalahan mereka dan belajar dari pengalaman tersebut tanpa merasa dihakimi.

Mengintegrasikan pembelajaran multikultural

Dengan merangkul latar belakang budaya siswa, guru dapat memperkaya materi pembelajaran. Misalnya, siswa dapat membahas cerita rakyat dari berbagai budaya sebagai bagian dari pelajaran literasi.

Memberikan umpan balik konstruktif dan positif

Umpan balik yang menekankan usaha dan strategi, seperti “kamu berhasil karena mencoba beberapa pendekatan berbeda,” membantu siswa memahami bahwa keberhasilan dapat diulang dengan cara yang sama.

Implementasi dalam proses belajar

Pembelajaran berbasis proyek:

Guru dapat merancang proyek yang memungkinkan siswa bekerja dalam kelompok heterogen, di mana setiap anggota berkontribusi sesuai dengan keahlian mereka.

Penggunaan teknologi personal:

Platform adaptif dapat membantu siswa belajar sesuai dengan kecepatan dan gaya belajar mereka sendiri.

Refleksi diri:

Siswa diajak untuk menulis jurnal harian tentang tantangan yang dihadapi dan bagaimana mereka mengatasinya, sehingga mereka dapat melihat kemajuan mereka sendiri.

Proses belajar yang menumbuhkan growth mindset di tengah keragaman siswa memerlukan komitmen guru untuk memahami, menghargai, dan mendukung setiap keunikan anak. Guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan lingkungan belajar inklusif, di mana semua siswa merasa dihargai dan didorong untuk berkembang.

Seperti yang dikatakan oleh Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Dengan menumbuhkan growth mindset dalam keragaman, pendidikan tidak hanya mencetak individu yang cerdas, tetapi juga membangun generasi yang tangguh, berdaya saing, dan mampu menghormati perbedaan.

Surabaya, 20 November 2024
M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Koalisi Pegiat Pendidikan Ramah Anak Indonesia, tinggal di Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment