Suaramuslim.net – Dalam buku “Ahammiyah al-Hadīts al-Dha’īf wa Dauruhu fī al-Tasyrī” (Urgensi Hadis Daif dan Peranannya dalam Pensyariatan), Dr Tajuddin –yang merupakan pimpinan Markas al-Sunnah wa as-Sirah an-Nabawiyah—menulis korelasi dan contoh menarik antara hadis dhaif dengan mukjizat ilmiah.
Kata pakar hadis dalam lembaga yang berada di bawah naungan AQL Islamic Center ini, ada sementara orang yang keliru dalam memahami hadis daif. Dikiranya, semua hadis daif pasti tertolak dan sama sekali tidak bisa diamalkan. Padahal, para ulama yang sangat ketat –seperti Bukhari– dalam menolak hadis daif pun pada tulisan-tulisannya mau tidak mau juga menggunakannya dalam masalah hukum.
Tentu saja, hadis daif di sini bukanlah hadis yang kelemahannya parah bahkan maudhu’. Tapi hadis-hadis yang masih ditolerir oleh ulama misalnya pada masalah-masalah keutamaan amal atau yang kelemahannya tidak terlalu parah.
Lebih jauh daripada itu, hadis daif juga bisa mengungkap kemukjizatan as-Sunnah dalam penemuan ilmiah (sains). Berikut ini, akan disajikan dua contoh hadis yang ditulis oleh Syekh Tajuddin.
Hadis Pertama:
Dari Abdullah bin Amru ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Tidak (boleh) mengendarai (kapal) laut, melainkan orang yang hendak naik haji, umrah atau berperang di jalan Allah, karena sesungguhnya di bawah laut ada api, dan di bawah api ada laut.”
Hadis ini sangat daif karena kemajhulan Bisyar Abu Abdullah, dan Busyair bin Muslim dengan perbedaan isnadnya. Bukhari melemahkan hadis ini dalam “Taariikh al-Kabiir” pada terjemah (biografi) kedua di antara keduanya. Demikian juga Ibnu Abdul Barra mendaifkannya dalam kitab “at-Tamhiid” hilid I, halaman 240. Bahkan beliau berkata, “Isnadnya gelap, tidak ada ahli ilmu (ulama) hadits yang menshahihkannya.
Meski demikian, hadis ini sesuai dengan penemuan ilmiah. Dr Ali Muhammad Nashar berdalil dengan hadis daif ini dalam artikel (ilmiah)nya yang berjudul “al-Qaul al-Qawiim fii I’jaaz al-Qur`an al-Kariim” (Perkataan yang Lurus dalam Kemukjizatan Al Quran yang Mulia); sebagaimana Syekh al-Majid al-Zindani dalam kuliahnya berjudul “Mu’jizat al-Qur`an fii Hadza al-Zamaan” (Mukjizat Al Quran pada Zaman ini) menyatakan bahwa hadis tersebut adalah merupakan kemukjizatan ilmiah dalam as-sunnah.
Hakikat ilmiah menetapkan kebenaran sebagaimana yang dikabarkan dengan hadis ini. Bahkan, juga diberitakan dalam Al Quran. Allah berfirman:
وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ
“dan laut yang di dalam tanahnya ada api,” (QS. Ath-Thur [52]: 6). Peralatan kamera ilmiah modern akurat memotret di kedalaman laut bahwa di laut terdalam ada api yang berkobar.
Hadis Kedua:
Dari Abdullah bin Amru bin Ash, ia berkata: suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menyaksikan matahari yang sedang terbenam kemudian beliau berkomentar mengenai api neraka milik Allah yang sangat panas; “Kalau seandainya ia tidak dicegah dengan perintah-Nya maka niscaya ia akan membinasakan seluruh yang ada di muka bumi ini.”
Hadis ini sanadnya daif. Akan tetapi, ditinjau dari sisi ilmiah maknanya sahih. Karena matahari ditinjau berdasarkan ilmu sains, cahayanya berbahaya jika langsung mengena penduduk bumi. Menurut penelitian yang sudah pasti, ada lapisan-lapisan yang mengelilingi bumi sehingga cahaya matahari bisa difilter sedemikian rupa agar tidak berbahaya bagi penghuni bumi.
Bila tidak ada penghalangnya, seperti lapisan atmosfer, ozon dan berbagai pernak-pernik lainnya, maka cahayanya bisa berbahaya bagi penghuni bumi. Dengan adanya lapisan itu, cahaya matahari yang sampai ke bumi hanyalah yang bermanfaat. Inilah yang sesuai dengan lafal hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam yang merupakan kemukjizatan ilmiah dari as-Sunnah an-Nabawiyah yang menunjukkan (kebenaran) kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa salam.
Dari sini menunjukkan bahwa, ada kalanya hadis daif juga bisa mengungkap penemuan ilmiah yang pada gilirannya menunjukkan kemukjizatan as-Sunnah. Meski begitu, beliau mengingatkan, agar yang menjadi acuan utama bukan menjustifikasi penemuan ilmiah dengan hadis Nabi, tapi acuan utama adalah hadis Nabi itu sendiri.