Suaramuslim.net – Baru-baru ini, jagad media dikejutkan dengan masuknya wanita non-muslim ke dalam masjid sembari membawa anjing. Peristiwa itu menjadi viral dan mendapatkan banyak komentar, baik yang membela maupun mencela.
Kalau mau jeli, sebenarnya tidak ada yang salah dengan anjing, karena hewan ini tidak akan ke masjid kecuali dibawa oleh pemiliknya. Justru yang perlu diusut adalah tuannya, kenapa tiba-tiba marah-marah membawa anjing ke masjid tanpa melepas alas kaki.
Biar masalah itu dituntaskan oleh pihak berwajib. Di sini kita akan membahas masalah pemeliharaan anjing dalam hadis Nabi. Sebenarnya, hadis yang membahas masalah ini banyak, namun di sini akan disebutkan salah satunya saja. Semoga bisa dilanjutkan pada pembahasan berikutnya.
Abu Hurairah meriwayatkan sabda Nabi:
مَنِ اتَّخَذَ كَلْباً, إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ, أَوْ صَيْدٍ, أَوْ زَرْعٍ, اِنْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ
“Barangsiapa memanfaatkan anjing selain anjing untuk menjaga hewan ternak, anjing (pintar) untuk berburu, atau anjing yang disuruh menjaga tanaman, maka setiap hari pahalanya akan berkurang sebesar satu qiroth”.
Status hukum hadis ini sahih. Diriwayatkan oleh Muslim (1575), Abu Dawud (2844), Tirmidzi (1490), Baihaqi (1183) dan lain-lain. Keshaihian hadis ini berdampak kemudian pada penetapan hokum fiqih.
Profil Sahabat
Hadis ini diriwayatkan oleh sahabat bernama Abu Hurairah. Menurut keterangan Ash-Shan’any dalam kitab “Subul as-Salam”, nama asli Abu Hurairah –dari 30 lebih pendapat– sebagaimana yang diyakini kuat oleh Ibnu Abdil Bar adalah Abdurrahman bin Shakhrin. Beliau adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Dalam Musnad Baqy bin Makhlad disebutkan bahwa riwayat hadis beliau sebanyak 5374 hadis. Beliau meninggal di Madinah pada tahun 59 Hijriah, ketika itu beliau berusia 78 tahun. Meninggal di ‘Aqiq, dan dikebumikan di Baqi’.
Imam Ash-Shan’any dalam bukunya berjudul “Subulus-Salam” (II/516) memberi catatan: hadis ini sebagai dalil terlarangnya orang memelihara anjing, melainkan tiga kondisi yang dikecualikan dalam hadis.
Hanya saja, di kalangan ulama ada perbedaan pendapat dalam memahami larangan dalam hadis tersebut. Ada yang berpendapat larangan itu adalah haram. Sementara pendapat kedua menyatakan bahwa larangan itu adalah makruh. Kalau haram, berarti kurangnya pahala akibat memelihara anjing sebagai balasan atas dosa yang dilakukan. Sedangkan yang berpendapat makruh berlandaskan pada kalimat “berkurangnya pahala”. Seharusnya –menurut pendapat kedua—jika larangan itu haram, mestinya pahala bisa hilang sekaligus, bukan berkurang secara bertahap.
Dalam hadis lain, disebutkan bahwa ukuran satu “qirath” adalah sebesar gunung Uhud. Jadi, orang yang memelihara anjing bukan untuk fungsi menjaga dan berburu, maka akan membuat pahala berkurang setiap hari.
Pelalajaran lain yang tak kalah penting dari hadis tersebut menurut Imam Ash-Shan’any adalah: Pertama, orang yang memelihara anjing untuk kepentingan penjagaan dan perburuan, maka tidak mengurangi pahalanya. Kedua, peringatan keras agar tidak melakukan sesuatu yang bisa mengurangi amal salih. Ketiga, menunjukkan kelembutan Allah yang memberikan pengecualian kepada hamba-hambaNya.