YOGYAKARTA (Suaramuslim.net) – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) kini berusia 55 tahun, yang berdiri 14 Maret 1964. Dalam usia lebih separuh abad, banyak capaian kemajuan yang diraih, sekaligus tantangan yang harus dihadapi saat ini.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir memgungkapkan karenanya milad jangan menjadi arena nostalgia, tetapi dijadikan momentum peningkatan kualitas diri meraih keunggulan sebagai pergerakan dari organisasi kemahasiswaan yang berinduk pada Muhammadiyah yang dikenal organisasi Islam modern.
Haedar juga menuturkan, jika di masa lalu IMM lahir dalam dinamika sosial-politik yang penuh gejolak di rentang tahun 1964-1965 yang genting dalam perjalanan bangsa Indonesia yang berakhir dengan pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada saat ini IMM berada dalam peralihan zaman dari era modern abad 20 ke abad 21.
“Dalam abad baru ini dunia ditandai dengan kehadiran globalisasi, revolusi industri 4.0, dan perubahan sosial yang kompleks dalam era postmodern. Banyak persoalan dan tantangan baru yang tidak terjadi pada abad sebelumnya seperti kehadiran teknologi informasi yang sangat canggih dan media sosial yang mengubah alam pikiran dan relasi antar manusia serta peradaban kekinian,” jelas Haedar pada Kamis (14/3/2019) seperti yang dilansir dari web resmi Muhammadiyah.
“Kehidupan keagamaan pun bertumbuh dalam keragaman paham yang kompleks, dari yang cenderung “ke kanan-kananan” maupun “ke kiri-kirian” atau yang serba-konservatif dan serba-liberal. Dalam dunia pemikiran dan paham keagamaan yang ekstrem itu dituntut kekuatan gerakan keagamaan yang tengahan tetapi berkemajuan atau wasathiyah-berkemajuan. Umat tengahan atau moderat yang berkemajuan bertumpu pada teologi “ummatan wasatha li-takunu syuhadaa ‘ala al-naas,” lanjutnya menyitir Q.S. Al-Baqarah ayat 143.
Selain itu, Haedar juga menegaskan bahwa dalam konteks kebangsaan IMM dituntut hadir sebagai kekuatan pencerahan berbasis “Iqra”, yang mampu menghadirkan narasi pemikiran dan keilmuan yang mencerdaskan serta memajukan akal budi dan peradaban manusia, khususnya di kalangan mahasiswa.
“Dalam menghadapi dunia politik yang serba pragmatis dan serba-keras saat ini tentu IMM harus hadir menjadi kekuatan tengahan yang cerdas-mencerahkan, yang tidak terombang-ambing dalam politik partisan yang dangkal, naif, pengejar kursi dan materi, serta kehilangan sukma akal budi yang mulia,” tegas Haedar.
Haedar berpesan agar para anggota, kader, dan pimpinan IMM dalam milad ke-55 tahun ini penting merenungkan makna tujuan IMM “mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.”
Pertanyaannya, imbuhnya, apakah dalam rentang puluhan tahun berjalan itu IMM telah hadir membangun budaya atau tradisi intelektual Islam yang cerdas dan berakhlak mulia sebagai basis kompetensi dirinya selaku penggerak perubahan dan kemajuan dunia mahasiswa?
“Karenanya saat ini penting bagi IMM terus menggembleng kader intelektual sekaligus calon pemimpin Muhammadiyah yang luas pandangan sebagai salah satu aktualisasi dari genre akademisi Islam berakhlak mulia sebagaimana cita-citanya. IMM harus menjadi lumbung kader intelektual dan pemimpin Muhammadiyah yang cerdas dan mencerahkan dalam cakrawala pandangan keagamaan maupun pemikiran keislaman yang luas. Suatu kekuatan kader yang menjadi pewaris gerakan Islam berkemajuan yang diletakkan Muhammadiyah sejak didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang dikenal mujadid Sang Pencerah,” imbuh Haedar.
Terakhir, lanjutnya, dengan etos Islam berkemajuan yang menjadi karakter khas Muhammadiyah sebagai rumah besar tempat dilahirkannya IMM, maka akan lahir para intelektual sekaligus pemimpin pergerakan yang luas pandangan guna menghadapi kehidupan postmodern abad ke-21 yang sarat tantangan.
“Seraya dapat mengikis pola pikir dan sikap yang kerdil, apologis, dan eksklusif yang membuat diri menjadi terkerangkeng dalam sangkar-besi yang sempit, jumud, dan menyandera kemajuan,” pungkas Haedar.
Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir