Suaramuslim.net – Kita panjatkan syukur ke hadirat Allah swt yang telah mengizinkan kita berkumpul di pagi yang cerah dalam majelis ied ini untuk merayakan keteladanan kurban Nabi Ibrahim as dan putranya, Ismail as.
Kita juga berdoa semoga saudara-saudara muslim yang kini di Makkah dapat menyelesaikan tahap-tahap akhir ibadah haji dengan baik dan kembali ke tanah air sebagai hajjan mabruuran dalam keadaan selamat dan sehat wal ‘afiyat. Aamiin.
Haji adalah penampilan puncak setiap muslim setelah digembleng melalui beberapa tahapan rukun Islam sebelumnya, yaitu shaum sebulan penuh selama Ramadhan (maupun puasa sunnah lainnya) menjadi muttaqun.
Kemampuan pengendalian syahwat perut dan kelamin adalah kompetensi muttaqun. Kompetensi ini merupakan prasyarat bagi tingkat rukun Islam berikutnya, yaitu az zakat. Kompetensi muzakki adalah kompetensi yang dibutuhkan untuk hidup yang bersih dari riba.
Resep Islam lain yang penting dalam menjaga syahwat perut dan kelamin serta hidup bersih tanpa riba adalah nikah. Kompetensi jujur, amanah, peduli, setia, rela berkorban dan tanggung jawab secara pro bono dikembangkan dalam pernikahan. Bahkan menikah dipandang dalam sunnah Rasul sebagai separuh dari Islam.
Kecenderungan generasi milenial untuk menunda menikah, bahkan hidup bebas tanpa menikah harus diwaspadai kerena telah menyemarakkan perzinaan dalam berbagai bentuk.
Demikianlah itu rukun Islam membina kehidupan setiap muslim sebagai pribadi, berkeluarga dan bermasyarakat. Dalam perspektif rukun Islam itulah hanya muttaqun yang sudah muzakki yang sejatinya siap mengambil peran al Haj yang telah diteladankan oleh Ibrahim dan Ismail.
Hampir setiap minggu, khatib Jumat selalu mengajak kita yang sudah mengaku beriman untuk bertaqwa dan berharap agar kita tidak mati kecuali dalam keadaan muslim (3:102):
“Ya ayyuha alladziina aamanuu ittaquu Allah haqqa tuqaatihi wa laa tamuutunna illa wa antum muslimuun“.
Mengapa ? Karena manusia mukmin yang mati bukan dalam keadaan muslim adalah manusia yang merugi. Allah swt berfirman (3:85):
“wa man yabtaghy ghayra al Islami diinan falan yuqbala minhu wa huwa fil aakhirati min al khaasiriin“.
Islam adalah cara mengorganisasikan hidup yang sempurna, yang memberi pedoman bagi setiap mukmim dalam semua segi kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara bahkan dunia (5:3):
“al yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaykum ni’maty wa radhiitu lakumul islaama diinan”
Memang iman itu sebagai nilai harus ditebus dengan Islam sebagai ongkosnya (9:111):
“Inna Allahas tara minal mu’miniina anfusahum wa amwalahum bi anna lahumul jannah“.
Ongkos terbesar untuk membayar iman itu ternyata bukan duit/uang, atau harta benda, tapi adalah diri/keakuan/ego. Seruan takwa dan tidak mati kecuali dalam keadaan muslim memang diteruskan seruan untuk tidak berpecah belah (3:103):
“Wa’tashimuu bi hablillahi jamii’an wa laa tafarraquu !”
Puncak persatuan Islam itu sebenarnya ditampilkan dalam prosesi haji sebagai sebuah konferensi umat Islam sejagad, tanpa sekat-sekat suku, kelas, jabatan, dan bangsa/negara.
Adalah keakuan iblis yang harus ditebus bagi persatuan umat sebagaimana dicontohkan oleh Nabiyullah Ibrahim as dan Ismail as.
Benih-benih perpecahan itu dimulai saat Iblis menolak bersujud mengikuti Adam as (2: 34) karena iblis yang terbuat dari api merasa dirinya lebih hebat daripada Adam yang hanya terbuat dari tanah:
“Usjuduu li aadama fasajaduu illa ibliis aba wastakbara wa kaana min al kaafiriin“.
Adalah kesombongan diri, kelas, suku dan kelompok serta bangsa yang memecah belah umat Islam dan juga umat manusia seluruhnya. Padahal di mata Allah kemuliaan itu ditentukan hanya oleh takwa seseorang, bukan oleh yang lain (49:13):
“Inna akramakum ‘inda Allahi atqaakum ”
Pemujaan pada kelompok, dan suku adalah penyakit iblis yang bakal menghambat persatuan dan berpotensi menjadi ongkos yang tidak pernah kita bayar sebagai mukmin untuk menjadi muslim.
Untuk itu saya menyeru kepada saya pribadi dan semua agar kita mencermati transaksi yang tidak pernah kita tuntaskan ini karena bakal menjadi penghalang kita untuk tidak mati kecuali sebagai muslim.
Sebagai umat kita berkeyakinan bahwa muslim memiliki semua kompetensi yang dibutuhkan warga negara untuk mampu mewujudkan janji-janji Republik ini.*
Gunung Anyar 10/8/2019
Daniel M Rosyid
Direktur Rosyid College of Arts and Maritime Studies
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net