Suaramuslim.net – Hubungan antar manusia unik. Yang baik dibalas baik. Yang buruk dibalas buruk. Tapi silang juga ada. Baik dibalas buruk. Buruk dibalas baik. Namun untuk bisa menjadi istimewa seperti apa?
Istimewa muncul dari yang lain dari biasa. Bukan ke arah yang buruk. Istimewa dikatakan begitu karena akan baik keseluruhannya. Semua bisa tertangani dengan baik. Tidak ada dikatakan istimewa.
Keburukan yang dibalas dengan kebaikan ini menjadi pelakunya dikatakan istimewa. Manusia unggulan yang tidak ternoda hatinya dengan keburukan orang lain. Namun seberapa sulit menerapkan ini? Sangat sulit. Penekanan yang pantas.
Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan, ”Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan (cara) yang lebih baik, Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan (kepada Allah).” (QS Al-Mu’minun: 96).
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika berdakwah diawal-awal Islam, banyak mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Jalan dimana beliau lewati disebar duri, diludahi hingga dipukul. Semua perlakuan ini tidak membuat bersedih hati. Memasamkan wajah. Bahkan pelakunya dijenguk saat sakit.
Kebaikan mahal harganya. Dan lebih mahal jika kebaikan diberikan kepada orang yang jahat. Begitu istimewa jika orang yang dianiaya mampu membalas dengan perbuatan baik. Disalami, diberi bantuan keuangan jika sedang kesulitan bahkan anak-anaknya diberikan pelayanan kesehatan yang memadai. Hingga disekolahkan.
Hal ini bukan berarti tidak ada tantangan. Kesulitan mencairkan amarah, juga mengikis dendam menjadi tantangan yang berat. Apalagi jika perbuatan jelek tersebut sampai pada tindakan merendahkan harga diri.
Bagaimana Langkahnya?
Alangkah baik jika manusia bisa menahan diri. Tidak tergesa-gesa menghakimi orang. Memang manusia punya karakter tergesa-gesa. Sebagaimana yang diingatkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS Al-Isra’ 11).
Sifat ketergesaan ini menghasilkan efek yang buruk. Satu di antara efeknya adalah mencegah berbuat baik kepada yang berlaku jahat kepada kita. Maka diingatkan demikian, supaya bisa menghela napas untuk menahan diri.
Selanjutnya menahan diri untuk menuruti prasangka yang negatif. Kita contoh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang tidak marah kepada orang-orang yang mencelakainya saat di Thaif. Beliau tetap berprasangka baik jika kelak penduduk ini akan beriman. Dan prasangka beliau dikabulkan oleh Allah. Karena prasangka sebagian dari doa.
Alangkah baik jika mengingat sebuah ayat, “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS Yunus 36)
Menjadi manusia istimewa bukan berarti harus lugu. Dalam artian, jika sudah dibaiki namun belum ada perubahan, malah cenderung semakin meningkat perlakuan tidak baik kepada kita. Bisa dikatakan sudah mengganggu privasi. Alangkah baik jika waspada agar tidak terperdaya dengan anjuran berbuat ihsan tersebut.
Sesekali ada ketegasan dengan menasehati, melaporkan kepada RT atau pihak berwajib sekalipun jika memang sudah keterlaluan. Manusia istimewa bukan manusia lugu. Mereka bisa ada dimana saja. Tidak kenal dia berasal darimana. Karena sifat bisa dibangun.
Membalas kebaikan dengan perbuatan buruk itu jahat dan dzalim. Membalas kebaikan dengan kebaikan biasa saja. Membalas perlakuan buruk dengan perbuatan yang baik, itu baru istimewa dan mulia. Selamat menjadi hamba dan manusia istimewa.
Kontributor: Muslih Marju
Editor: Oki Aryono