Suaramuslim.net – Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tapi pertanyaannya adalah: yang kita rayakan sebenarnya apa? Dan yang kita perjuangkan itu siapa?
Pendidikan di negeri ini terlalu lama terjebak dalam satu arah, yaitu: “mencetak lulusan yang siap bekerja”, bukan siap menciptakan pekerjaan. Kita siapkan anak-anak untuk menjadi karyawan yang baik, bukan pemimpin usaha yang sukses. Kita desain sekolah untuk menyalurkan tenaga kerja ke pasar, bukan untuk membangun pasar itu sendiri. Padahal, negara yang besar bukan hanya yang punya banyak pekerja, tapi yang punya banyak pencipta lapangan kerja.
Sejak awal, sistem pendidikan kita nyaris tak pernah menumbuhkan mentalitas wirausaha. Mata pelajaran kewirausahaan diajarkan seperti teori yang mati, bukan sebagai budaya hidup. Siswa diajarkan cara membuat laporan keuangan, tapi tidak diajarkan bagaimana menghadapi kegagalan. Mereka bisa hafal rumus permintaan dan penawaran, tapi tidak pernah betul-betul diajak menciptakan produk yang berkelanjutan.
Ki Hadjar Dewantara tidak pernah mengajarkan pendidikan sebagai pabrik tenaga kerja. Beliau mendambakan pendidikan yang membebaskan. Yang mengembangkan nalar, karakter, dan keberanian untuk mandiri. Tapi hari ini, sistem kita lebih mirip jalur antrean menuju status “siap kerja”. Terutama kerja kantoran.
Tak heran jika banyak lulusan kita bingung setelah wisuda. Ijazah di tangan, tapi tak tahu harus ke mana. Karena sejak awal, mereka kurang diajari untuk membangun kapal sendiri. Lebih banyak diajari cara ikut naik kapal orang lain.
Pendidikan kita masih berorientasi pada output administratif, bukan output visioner. Kita mengukur keberhasilan dari angka kelulusan dan jumlah serapan tenaga kerja. Padahal, sejatinya, pendidikan harus menjadi arena menempa manusia menjadi pemikir, penemu, dan pencipta masa depan, bukan sekadar pelaksana rencana orang lain.
Dan lebih tragis lagi, sistem ini juga tidak adil. Yang punya akses pendidikan terbaik biasanya sudah punya privilese sosial. Sementara anak-anak dari keluarga kecil, dari kalangan keluarga tidak mampu, meskipun punya ide besar, sering tersingkir oleh sistem yang kaku dan tidak adaptif.
Hardiknas 2025 seharusnya jadi momen koreksi total
Kita tidak boleh terus memelihara sistem yang hanya menghasilkan lulusan yang “siap kerja” tapi tidak siap menghadapi realitas hidup yang butuh kreativitas, keberanian, dan jiwa kepemimpinan.
Kita butuh pendidikan yang mendorong anak-anak bermimpi, bukan hanya mencari gaji. Kita perlu guru-guru yang tidak hanya mengajar soal yang keluar di ujian, tapi juga mengajarkan soal kehidupan yang tak punya kunci jawaban tetap.
Dalam Islam, menuntut ilmu itu fardu. Tapi ilmu yang dicari bukan hanya untuk “lulus”, melainkan untuk memerdekakan manusia dari ketergantungan pada selain Allah.
Rasulullah SAW membangun peradaban bukan dengan tentara, tapi dengan para sahabat yang berpikir, berniaga, memimpin, dan menciptakan solusi.
Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah, menyebut pendidikan yang sehat adalah yang melahirkan manusia aktif, bukan pasif. Pendidikan yang memampukan manusia mengelola dunia, bukan dikelola oleh dunia.
Kalau kita ingin bangsa ini berdaulat, maka pendidikan kita harus mencetak pemilik kapal, bukan hanya penumpang. Karena masa depan Indonesia tidak cukup diserahkan pada anak-anak yang siap kerja. Kita butuh generasi yang siap membuka jalan baru, bukan hanya menunggu disuruh jalan.
Sebagai penutup, atas nama Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Timur saya ingin menyampaikan pesan moral kepada seluruh pemangku kepentingan dunia pendidikan: bahwa sudah saatnya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dibersihkan dari orientasi sempit profit dan komersialisasi.
Jangan pernah menjadikan pendidikan semata-mata sebagai industri. Jangan biarkan ruang belajar dikendalikan oleh logika pasar. Jangan ada lembaga pendidikan, baik di tingkat dasar, menengah, maupun perguruan tinggi, yang lebih mementingkan benefit dan margin bisnis, ketimbang misi suci mencetak generasi berilmu dan berakhlak.
Orientasi utama pendidikan harus kembali ke akar moral dan intelektual bangsa: membentuk manusia Indonesia yang unggul dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sekaligus kokoh dalam Iman dan Taqwa (IMTAQ).
Karena sejatinya, sejak awal, penyelenggara pendidikan sejati adalah mereka yang berniat mengabdi dan berjihad memerangi kebodohan dan ketidakberdayaan. Bukan mencari keuntungan. Pendidikan adalah ladang perjuangan untuk mencerdaskan bangsa, bukan sarana memperkaya diri.
Kini saatnya semua pihak menunjukkan komitmen tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan sebagai jalan menuju peradaban baru yang bermartabat, cerdas, dan mensejahterakan.
Visi besar Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi nyata jika kita mulai hari ini membangun generasi emas yang bermutu, berkarakter, dan berdaya saing tinggi, dengan jiwa yang bebas dan hati yang merdeka.
Pendidikan memang harus punya kurikulum. Tetapi yang lebih penting lagi dari kurikulum adalah masa depan. Dan masa depan adalah urusan siapa yang kita bentuk hari ini. Selamat Hardiknas, dan Salam Inspirasi dari ICMI!
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur