Suaramuslim.net – Saya suka sekali membaca kisah-kisah Nasruddin Khoja. Ada beberapa buku terkait tokoh itu yang saya koleksi, dari yang perlu mengernyitkan kening karena ditulis sebagai kajian mantiqiyah, ada yang membuat saya merasakan seperti angin yang berdesir karena ditulis secara filosofis, namun ada juga yang tercetak sebagai komik yang membuat saya tersipu atau ngakak.
Saya menangkap Nasruddin itu sebagai tokoh paradoks, mbalelo, satire dan pengacak-acak rasionalitas, namun demikian bagi saya, lebih dari itu, ia adalah representasi kegeniusan yang unik.
Setiap kisah Nasruddin menggambarkan situasi kehidupan yang berbeda-beda. Melalui kejenakaan, ia mengajak kita untuk bertafakur tentang berbagai tema kehidupan.
Salah satu kisah filosofis yang menarik dari Nasruddin adalah sifat malu-nya. Seperti kisah ketika suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nasruddin. Kebetulan Nasruddin melihat pencuri itu. Karena ia sedang sendirian aja, Nasrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah.
Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Nasruddin yang bersembunyi.
“Aha!” kata si pencuri, “Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
Nasruddin menjawab dengan tersenyum,
“Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini.”
Rasa malu itu begitu penting. Bagi Nasruddin, malu bukanlah sebuah tekanan sosial atau pemaksaan eksternal melainkan sebuah individual consciousness atau kesadaran perseorangan.
Terminologi malu yang rumit, menjadi realita lapangan yang terukur melalui penjenakaan, atau tepatnya pada pelucuan diri sendiri.
Kita boleh jadi menjadi lucu di mata orang lain ketika menunjukkan harta, meski kita tunjukkan dengan cara yang serius. Lebih lucu lagi ketika yang kita tunjukkan adalah khayalan kita untuk mendapat pujian.
Yang seperti itu bagi Nasruddin adalah hamaqot almalakiyah atau kepandiran harta yang menjadi penyakit akut dalam kalbu.
Demikian juga dengan, keadigungan orang-orang yang merasa berilmu. Ilmu pun bisa jadi ejawantah dari apa yang disebut ilmu yang menjadi penyakit kanker di otak seseorang.
Harta dan ilmu selau menjadi satire dalam kisah kejenakaan Nasruddin. Keduanya dianggap dapat merusak tatanan kehidupan.
Harta itu menjadi berbahaya di tengah orang yang tidak berilmu, dan ilmu pun dapat menjadi bahaya di tengah orang yang berharta. Nasruddin mengingatkan ada bahaya jika memiliki satu di antara keduanya, dan menjadi sangat berbahaya jika memiliki keduanya. Tapi siapakah orang yang tak bercita-cita mendapatkan status sebagai orang kaya lagi pintar?
Nasruddin tak menegasikan dan menolak impian seperti itu. Ia hanya mengatakannya sebagai bahaya, dan bahaya itu bisa dilalui dengan memupuk rasa malu.
Ya, semakin banyak harta yang kita miliki semestinya kita menjadi semakin malu, karena tanpa mengeluarkan zakat dan sedekah yang semakin banyak maka semakin pantas kita disebut kaum alhamaqot almalakiyah atau hartawan yang pandir.
Demikian pula ketika kita semakin banyak memiliki ilmu, jika tanpa melakukan hal-hal yang nyata, yang bermanfaat bagi penciptaan akhlakul karimah dan peningkatan ibadah pada sang Khalik, maka itulah yang disebut kaum Alghabi bi sababil alim atau bodoh dikarenakan (tak memahami hakikat) ilmu.**
Cibinong, Bakda Isya.
27 Februari 2019
Penulis: Yudha Heryawan Asnawi*
*Sosiolog – Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor (SB- IPB), Penggiat Ekonomi Pesantren.
**Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net