SURABAYA (Suaramuslim.net) – Kamis (18/9) merupakan hari yang dinanti-natikan oleh Sarmi Rukamin Majari yang kerap dipanggil Mbah Sarmi. Wanita paruh baya yang lahir di Dusun Tempel RT 06 RW 02 Tanggul Kundung, Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo Jatim, 78 tahun silam ini memiliki tekad kuat untuk mewujudkan cita-citanya menunaikan Rukun Islam yang kelima.
Meski hidup sebatang kara di pegunungan Tanggul Kundung, nyatanya ia mampu mematahkan stigma kebanyakan orang bahwa haji harus menunggu kaya.
Keseharian Mbah Sarmi adalah seorang petani singkong, sayur-sayuran, terkadang juga jagung. Sebidang tanah yang tak terlalu luas menjadi sumber mata pencaharian Mbah Sarmi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagian menabung untuk haji.
Hasil panen yang tak seberapa ia pikul menggunakan rinjih (keranjang pikul dari anyaman rotan) turun menelusuri lereng gunung Tanggul Kundung untuk selanjutnya dijual kepada warga.
“Alah mas untungnya ya sedikit, hanya bisa untuk makan hari ini, untuk besok ya kerja lagi,” ungkap Mbah Sarmi tersenyum saat ditemui media di Embarkasi Haji Surabaya, Rabu (17/7).
Kondisi fisik Mbah Sarmi yang tidak muda lagi, ditambah tangan kanannya yang sejak lahir sudah tiada nyatanya tidak membuat Mbah Sarmi patah arang. Kondisi demikian sudah ia lalui berpuluh-puluh tahun.
“Sudah puluhan tahun mas saya itu hidup sendirian, tidak apa-apa mas, sing penting hati saya itu adep mantep niat haji,” sahut Mbah Sarmi.
Mbah Sarmi mengaku ketika kecil, ia hendak diadopsi oleh seorang priyayi dari Solo, namun kedua orang tua dan kakek neneknya tidak menyetujui. Orang tua Mbah Sarmi sangat yakin bahwa nantinya Mbah Sarmi akan membawa keberkahan bagi keluarga.
“Bapak, ibu dan nenek saya itu ndak mau mas saya diadopsi sama priyai dari Solo. Coba kalau saya diadopsi, apa saya bisa haji seperti sekarang,” ujar Mbah Sarmi bersyukur.
Bertani, menjual singkong, dan jagung yang tak seberapa tentunya tidak cukup untuk biaya Mbah Sarmi menunaikan ibadah haji. Sebidang tanah yang menjadi sumber mata pencaharian, rela ia jual demi mewujudkan asa. Uang dari menjual tanah tersebut ia titipkan ke saudaranya kemudian ditabungkan untuk mendapatkan porsi haji. Tiada raut muka penyesalan dari Mbah Sarmi. Sejak tanah itu dijual, ia menumpang di saudaranya dengan gubuk reot bersama hewan ternak seperti ayam dan bebek.
“Ora popo mas, di dunia rumahnya reot, kumuh, jelek, asalkan nanti di akhirat gusti Allah paring ridho dan rahmat,” sambung Mbah Sarmi dengan logat Jawa yang kental.
Bulan Juli enam tahun yang lalu menjadi penantian tersendiri bagi Mbah Sarmi. Semenjak itu ia selalu menantikan untuk berangkat haji.
“Saya itu mas sering sekali bertanya ke Mas Ainur Rafiq (perwakilan KBIH), kapan aku munggah haji, ndang diberangkatkan,” sambung Mbah Sarmi mengingat masa lalu.
Sempat perwakilan KBIH menawarkan kepada Mbah Sarmi untuk umrah saja, dikarenakan kondisi Mbah Sarmi yang semakin menua. Namun tawaran itu ditolak oleh Mbah Sarmi.
“Aku ini mas sudah adep mantep mas hatiku untuk haji, tidak apa-apa saya tunggu saja sampai saatnya tiba,” ujarnya.
Kondisi fisik yang sudah menua dan tidak sempurna nyatanya tidak membuat Mbah Sarmi ciut. Ia mengaku kuat dan sanggup melaksanakan ibadah haji ketika di tanah suci.
“Kuat aku iki mas, tidak apa-apa meski tidak ada cucu yang mendampingi. Aku meninggal di Arab Saudi ya tidak apa-apa mas, aku ikhlas mas, ikhlas,” tutur Mbah Sarmi meyakinkan.
Selanjutnya Mbah Sarmi berpesan kepada segenap umat Muslim yang belum haji untuk menata niatnya ketika hendak berhaji. Menurutnya niat merupakan hal yang paling penting. Dikarenakan banyak orang yang mampu, namun tidak ada niat berhaji maka juga tidak akan bisa haji, sebaliknya ketika memiliki niat yang kuat, namun dari sisi finansial kurang mampu, maka nantinya akan dimudahkan oleh Allah SWT.
“Saya ndak berani berpesan apa-apa mas, karena saya ini bukan siapa-siapa. Tapi namanya ibadah itu tergantung hatinya masing-masing, niatnya mas, kalau niatnya kuat, insya Allah mudah mas,” ujar Mbah Sarmi.
Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir