Suaramuslim.net – Cerita hijrahku berawal dari patah hati terhebat yang kualami. Jadi aku berterima kasih untuk kamu yang sudah membuatku jatuh sebegitu dalamnya hingga akhirnya Allah menyelamatkanku.
2 tahun lalu, aku berpacaran dengan seorang laki-laki yang aku minta lewat Allah. Iya, sebelum aku berpacaran dengan laki-laki itu setiap setelah salat Maghrib selalu berdoa untuk didekatkan sama laki-laki itu, dan benar saja aku akhirnya berpacaran dengan laki-laki itu. Mungkin Allah kasian ya sama aku, akhirnya Allah mengabulkannya karena doaku yang lebih terkesan memaksa.
10 bulan berpacaran dengannya, dari awal pacaran sampai putus isinya berantem terus, romantisnya bisa dihitung lah pake jari apalagi kita saat itu LDR. Aku kuliah di Surabaya dan dia di Semarang. Makin diperparah dengan dia yang punya banyak teman cewek dan aku yang nggak suka dia deket-deket sama temen ceweknya.
Pokonya dia punyaku dan aku nggak mau sharing sama cewek lain. Karena aku menggantungkan seluruh kebahagiaanku sama dia dan seluruh semangatku cuma untuk dia. Saat itu prioritasku sudah bukan orang tuaku lagi.
Singkat cerita aku ngerasa capek sakit hati sama dia, ditambah lagi tugas kuliah yang makin hari makin menumpuk, dan juga dia di sana sudah mulai ikut organisasi dan waktunya pun habis di organisasi.
Aku pun kehilangan kebahagiaan. Sehingga mengambil keputusan untuk berpisah dan saat itu pun aku masih berpikir.
“Ah, nanti juga balikan lagi,” kataku.
Benar saja, kayak masih belum ada kapok-kapoknya. Karena kita LDR jadi aku pun mengutarakan keinginanku untuk berpisah lewat chat Line, karena nggak mungkin aku ke Semarang cuma buat mutusin dia, berat di ongkos.
Setelahku mengirim chat, dia pun membalas dengan meng-iya-kan kemauanku. Sontak aku mulai kelabakan karena tidak mengira dia akan menanggapi seperti itu. Akhirnya, karena gengsi, aku pun juga setuju meskipun malam itu aku masih bisa sedikit tenang karena yakin besok atau lusa bakal balikan lagi.
Keesokan harinya, aku pun sadar bahwa tidak ada tanda-tanda dari dia untuk balikan. Dari situ lah aku mulai menangis. Dari pagi hingga ketemu pagi. Bahkan saat temenku bertanya
“He, kon putus yo?” Katanya.
Aku bukannya menjawab malah memeluk dia dan menangis sejadi-jadinya, padahal saat itu aku sedang di kampus dan duduk di bangku depan. Yahh, udah ketutup lah malunya sama rasa sakit.
Beberapa hari berselang aku masih belum bisa menerima bahwa aku sudah putus dengannya. Sampai pada hari Jumat saat itu ada praktikum pagi, dan mungkin memang hari itu Allah menyuruhku untuk pulang ke kampung halamanku.
Di Tuban. Iya aku merantau di Surabaya. Saat itu temanku bertanya.
“Kamu nggak pulang ke Tuban?” Katanya.
Hari itu sebenarnya tidak ada sama sekali rencana untuk pulang tapi setelah temanku bertanya pun akhirnya aku berniat untuk pulang hari itu juga.
Lanjut Halaman…..