Suaramuslim.net – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya menjadi kepanjangan tangan dan pikiran rakyat saat ini sedang berubah menjadi stempel bagi penindasan dan kesengsaraan rakyat.
Sorotan masyarakat terhadap persetujuan DPR terhadap sahnya empat Rancangan Undang-Undang (RUU) benar-benar menegaskan hilangnya empati dan nalar kritis mereka. Alih-alih menjadi garda terdepan memperjuangkan aspirasi masyarakat di tengah pandemi ini, mereka justru menjadi pintu masuk bagi kesengsaraan rakyat.
Empat UU pantas mendapat protes banyak pihak, karena UU itu bukan hanya menunjukkan hilangnya kepekaan sosial mereka tetapi juga telah hilangnya akal sehat mereka. Semestinya DPR menjalankan fungsi kontrol untuk melindungi kepentingan masyarakat, namun yang terjadi justru menjadi kuburan massal bagi aspirasi rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Ruh keberpihakan terhadap rakyat yang hilang
Sebagaimana ramai di media sosial bahwa DPR telah mengadakan sidang paripurna dengan mengesahkan empat RUU. Empat RUU itu di antaranya tentang Corona, Minerba, HIP, dan Penanggulangan Bencana. Keputusan itu bisa dikatakan sebagai keputusan spektakuler, karena isinya bukan hanya sangat jauh dari harapan masyarakat tetapi berpotensi besar menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keempat RUU bisa dijelaskan singkat sebagai berikut. UU Corona dan UU Penanggulangan Bencana berkaitan dengan upaya negara untuk mencari solusi atas bencana berupa wabah Covid 19 saat ini. Dalam butir-butir UU ini ada indikasi kuat memberi peluang kepada elite politik, dalam hal ini pejabat keuangan, untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam menangani bencana. Namun mereka memperoleh perlindungan dan tidak bisa diproses di pengadilan bila terbukti melakukan penyimpangan.
Dengan kata lain, UU ini memberi kekebalan hukum kepada mereka yang melakukan penyimpangan. Tanpa ada pasal kekebalan hukum saja, mereka seringkali berbuat menyimpang. Dengan adanya pasal ini, mereka diberi keleluasaan untuk melakukan penyimpangan hukum.
Sementara RUU RIP (Haluan Ideologi Pancasila), dinilai banyak kalangan memberi angin atau peluang bagi bangkitnya ideologi PKI. Yang menjadi catatan penting bahwa dalam UU ini tidak mencantumkan TAP MPR Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan ajaran Komunisme/Marxisme.
Ini sangat ironis bila UU HIP tidak merujuk pada pada TAP MPR yang melarang ajaran Komunis itu. UU ini bukan hanya mengaburkan sejarah kekejaman PKI, tetapi pelan-pelan akan menghilangkan sejarah kejahatan kolektif PKI yang pernah hendak meruntuhkan ideologi negara Pancasila, dan membunuh eksistensi agama di Indonesia. Maka sangat wajar bila muncul berbagai protes dari berbagai komponen masyarakat atas lolosnya UU HIP ini.
Sementara UU Minerba (Pertambangan Mineral dan Batubara) juga dinilai menguntungkan pengusaha atau kelompok elite yang sedang terlibat dalam bidang pertambangan. Mereka yang selama ini mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, akan semakin kukuh dalam mengeruk keuntungan bila UU Minerba ini dilaksanakan.
Dengan mengacu pada UU Minerba ini sekelompok elite, akan lebih leluasa mengeksploitasi sumber daya alam, sementara rakyat di daerah itu tidak punya kuasa untuk memperoleh haknya sebagai warga negara.
Fungsi kontrol yang hilang
Lolosnya RUU ini tidak lepas dari peran DPR yang seolah mati rasa empatinya di tengah wabah Covid 19 ini. Ketika pemerintah menerapkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan masyarakat diimbau mengurangi aktivitas di luar rumah. Kebijakan ini tanpa ada kompensasi atas hilangnya pekerjaan. Masyarakat hanya bisa meminta belas kasih dan berdoa agar ada pihak-pihak yang memberi kompensasai ekonomi.
Di tengah suasana sengsara dan serba keterbatasan, DPR bukannya menekan pemerintah untuk menunjukkan empatinya dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang mampu mengatasi problem sosial dan ekonomi. Alih-alih melahirkan kebijakan pro rakyat, DPR justru bersekongkol dengan pemerintah menggodok dan mengesahkan empat RUU yang tidak menyentuh persoalan yang sedang dihadapi rakyat.
Betapa hilang empati dan nalar kritisnya ketika para wakil rakyat ini justru bersekutu mencampakkan kepentingan konstituennya dan justru memperjuangkan kepentingan diri mereka dan kelompok elite.
UU Corona dan penanggulangan bencana bukan difokuskan untuk menangani dampak sosial-ekonomi masyarakat akibat wabah Covid. Mereka justru menyelipkan pasal yang melindungi pihak-pihak pengambil kebijakan yang terbukti menyimpang.
Lahirnya UU Minerba sangat jelas memberi ruang bagi sekelompok kecil untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Mereka semakin leluasa memanfaatkan UU ini untuk semakin tak terkontrol tanpa memperhatikan hak-hak rakyat kecil yang ada di daerah-daerah.
Demikian juga dengan lahirnya UU HIP, seolah memberi jalan lempeng bagi bangkitnya ideologi komunis di Indonesia. Berbagai kebijakan yang sering tumpang tindih dan saling bertentangan, serta sering menimbulkan konflik di tengah masyarakat tidak lain dilahirkan oleh ideologi komunis.
Berbagai elemen sudah banyak membaca adanya kecenderungan dari rezim ini membiarkan ideologi kiri tumbuh dan berani menampakkan wajah aslinya.
Seolah buta sejarah, sebagian besar anggota DPR tutup mata terhadap banyaknya kebijakan pemerintah yang menyudutkan umat Islam dan memberi panggung bagi tumbuhnya ideologi kiri ini. Berbagai kebijakan selalu berubah dan berganti.
Adanya perubahan dan pergantian bukan menyempurnakan tetapi justru tumpang tindih dan melahirkan gejolak sosial. Yang terbaru, di tengah kebijakan PSBB, pemerintah mengimbau atau melarang umat Islam melaksanakan salat berjamaah, salat tarawih hingga salat idulfitri tetapi pemerintah membiarkan adanya konser virtual yang diadakan oleh BPIP.
Fungsi kontrol anggota DPR seharusnya dipergunakan untuk meluruskan kebijakan pemerintah yang mengarah pada penyimpangan. Namun yang terjadi, DPR justru memberi lampu hijau dan menstempel pemerintah untuk bertindak semena-mena yang tidak mempedulikan nasib rakyat dan membiarkan negara dalam ketidakpastian.