Suaramuslim.net – Musim hujan akhir 2018 sampai awal 2019, negara ini dihajar banjir. Banjir bandang dan longsor hampir terjadi di sebagian besar provinsi di Indonesia. Nah, begitu musim kemarau, bencana kekeringan dan kekurangan air mulai dirasakan banyak kabupaten di Indonesia. Kekeringan dan kekurangan air ini sudah berlangsung setiap tahun bila masuk musim kemarau. Bahkan kalau dilihat dari data di BNPB sudah berlangsung lama sekali.
BMKG memperingatkan tahun 2019 bahwa Jawa, Bali dan Nusa Tenggara berpotensi alami kekeringan ekstrem sebab ada indikasi tidak ada hujan dua bulan ke depan. Tidak ada hujan dalam beberapa bulan akan memperparah dan memperluas areal bencana kekeringan. Akan diikuti minimnya ketersediaan air sehingga upaya pemberian air tangki akan berkurang.
Otomatis akan membutuhkan biaya lebih banyak dan sangat mungkin dana pembangunan tersedot untuk menangani kekeringan. Ini peringatan yang harus diperhatikan oleh negara.
Selama bertahun-tahun penanganan bencana kekeringan dilakukan secara responsif saja, seperti PMK (ada kebakaran, PMK datang menyemprot air, pulang). Pemerintah hanya menyediakan dana besar untuk menyediakan air dalam bentuk tangki air. Kenapa penanganan haya respons saja?
Karena penanganan bencana selama bertahun-tahun, paling tidak sebelum tahun 2007, negara hanya kenal kata responsif terhadap bencana dan ini menjadi budaya reaktif dan sedikit sekali upaya antisipatif.
Sebelum tahun 2007, pemerintah hanya menyiapkan Badan Koordinasi Penanggungan Bencana (Bakornas PB) RI, artinya pemerintah akan melakukan koordinasi setelah terjadi bencana. Mereka koordinasi untuk penyelamatan, merehabilitasi dan merekonstruksi. Bahkan paradigma respons diimplementasikan dalam bahasa hukum force majeure sudah melekat menjadi bagian budaya masyarakat.
Tahun 2007 ada upaya perubahan budaya respons tersebut lewat UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang memberi amanah agar pemerintah melakukan upaya antisipasi sebelum, saat dan sesudah bencana terjadi dengan tujuan pengurangan risiko bencana. Dengan UU ini, pemerintah bisa melakukan kajian penyebab dan pemicu kekeringan sehingga bisa dipakai dasar dalam mengurangi bencana kekeringan.
Bencana Kekeringan Tidak Tiba-Tiba
Bencana kekeringan bukan terjadi secara tiba-tiba tapi melalui proses yang terkait dengan aktivitas manusia mengingat jumlah air yang bersiklus di suatu kawasan jumlahnya tetap. Nah, kalau kegiatan pembangunan dan aktivitas manusia tidak memperhatikan siklus keseimbangan air, maka siklus akan terganggu.
Padahal kalau kita amati dan teliti secara saksama penyebab dan pemicu bencana bisa kita dapatkan sehingga bisa melakukan pencegahan atau bisa mengurangi risikonya.
Salah satu penyebab utamannya adalah perubahan penggunaan lahan di bagian lereng dan puncak pegunungan. Kalau kita lihat hasil kajian di website kementerian yang bertanggung jawab atas keadaan ini, seperti Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian dll, menunjukkan bahwa mereka semua tahu penyebab itu dan mereka pun sudah mengusulkan cara perbaikannya.
Kekeringan air sumur dan mata air (sumber) serta kekeringan sungai tidak akan terjadi kalau air hujan yang meresap ke dalam tanah mengisi cadangan air bawah tanah di pegunungan. Hujan akan meresap ke dalam tanah kalau ada hutan di gunung.
Hutan gunung mampu menyerapkan 80% air hujan dalam satu musim meresap ke dalam tanah, disimpan dan dikeluarkan sebagai mata air di sekeliling gunung dan akan keluar secara proporsional selama setahun mengisi sungai agar tidak kering dan mengisi cadangan air sumur.
Perilaku membabati hutan di gunung telah mengubah fungsi resapan sehingga air lebih banyak mengalir sebagai air banjir. Logika sederhana bila kepala kita tidak berambut, plontos, bila kita siram maka air akan langsung mengalir semuanya. Sebaliknya kalau kepala kita penuh rambut dan tebal, saat kita siram sebagian air tertinggal di rambut, sebagian meresap ke dalam kulit kepala kita.
Penghutanan kembali kawasan resapan di puncak gunung harus segera dilakukan. Pemerintah harus tegas mengembalikan fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan hutan lindung dan kawasan resapan.
Kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi kawasan puncak gunung. Sebab, kawasan tersebut sudah beralih fungsi secara masif, sistemik, dan terstruktur. Saat ini kawasan tersebut ada yang sudah dimiliki perorangan atau pun pengembang besar.
Pemerintah harus membeli kawasan puncak gunung untuk dihutankan kembali dan difungsikan sebagai kawasan resapan air. Puncak gunung ini tidak boleh diubah menjadi kawasan budidaya.
Penghutanan kembali dengan reboisasi jelas tidak efektif karena butuh waktu lama untuk tumbuh. Untuk itu, bersamaan dengan reboisasi, dibarengi dengan rekayasa vegetasi. Yakni penanaman batang pohon yang masih hidup dengan aturan sekitar 2/3 masuk ke dalam tanah, 1/3 muncul di permukaan atau ditaruh. Harapannya, dari batang yang tertanam, tumbuh akar serabut yang akan mengikat dan memperkuat tanah.
Dampak positip lain dari penghutanan ini adalah mengurangi erosi tanah sehingga pendangkalan bendungan/waduk/embung yang terbangun dan yang akan dibangun bisa dikurangi atau masih bisa ditoleransi sesuai dengan perencanaan badan air tersebut.
Keuntungan yang sangat penting adalah terisinya cadangan air tanah sehingga sumur-sumur gali dan sumur-sumur bor tetap berair saat kemarau. Desa-desa yang selama ini kekurangan air bisa mengupayakan sumur bor dalam dengan dana desa yang mereka dapatkan. Banyak contoh desa yang awalnya kekeringan menjadi penuh air dengan sumur bor.*
Dr Amien Widodo
Pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim ITS Surabaya
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net