Suaramuslim.net – Satu hal yang sering dipertanyakan dalam prosesi kurban adalah status kulit hewan kurban. Apakah boleh dijual atau harus dibagikan semua kepada orang yang membutuhkan? Kalau dijual, siapa yang menjual, penerima atau orang yang berkurban?
Yang tidak boleh menjual itu adalah yang berkurban. Kalau yang menerima kurban, misal takmir masjid, ya boleh lah dijual.
Bagi yang berkurban sudah tentu tidak boleh menjual kulit hewan kurban atau bagian tubuh lainnya. Karena memang harus dimakan dan disedekahkan.
Dalil terlarangnya menjual sebagian dari kurban adalah hadis Abu Sa’id, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْىِ وَالأَضَاحِىِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيعُوهَا
“Janganlah menjual hewan hasil sembelihan hadyu dan sembelian udh-hiyah (kurban). Tetapi makanlah, bersedekahlah, dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan kamu menjualnya.” (Ahmad no. 16256, 4/15).
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadis ini dhaif (lemah). Ibnu Juraij yaitu ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz adalah seorang mudallis. Zubaid yaitu Ibnul Harits Al Yamiy sering meriwayatkan dengan mu’an’an. Zubaid pun tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat. Sehingga hadis ini dihukumi munqathi’ (sanadnya terputus).
Karena itu para ulama berbeda pendapat:
Imam Asy Syafi’i mengatakan, binatang kurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan kurban (seperti daging atau kulitnya). Barter antara hasil sembelihan kurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan kurban, namun hasil penjualannya disedekahkan. (Lihat Fiqh Sunnah 2/379).