Suaramuslim.net – Korupsi hakim bukanlah sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap integritas dan keadilan yang harus dijaga oleh sistem peradilan negara hukum.
Dalam kerangka negara hukum, hakim diharapkan bertindak secara independen dan objektif, memastikan setiap keputusan yang diambil adalah hasil dari proses hukum yang transparan dan adil. Namun, ketika hakim terlibat dalam praktik korupsi, ini bukan hanya merusak kepercayaan publik terhadap keputusan mereka, tetapi juga mengguncang fondasi dari negara hukum itu sendiri.
Masyarakat mulai mempertanyakan validitas setiap keputusan hukum, yang pada gilirannya memperburuk ketidakpercayaan terhadap sistem hukum secara keseluruhan.
Korupsi hakim merupakan ancaman subversif bagi negara hukum, karena ia merusak struktur dasar yang dibangun oleh hukum itu sendiri, yaitu keadilan yang tidak memihak dan setara untuk semua pihak.
Dalam perspektif Hukum Pidana Islam, tindakan korupsi tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran hukum positif negara, tetapi juga sebagai pelanggaran terhadap nilai moral dan spiritual yang mengikat setiap individu, terutama hakim, untuk bertindak dengan integritas.
Korupsi hakim dan ancaman terhadap negara hukum
Korupsi hakim adalah ancaman serius terhadap prinsip-prinsip dasar negara hukum. Negara hukum didirikan di atas asas bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu dan tanpa pengaruh dari kepentingan pribadi atau politik. Namun, korupsi yang melibatkan hakim merusak prinsip ini.
Ketika hakim terlibat dalam praktik korupsi, mereka tidak hanya merusak integritas mereka sendiri, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan yang seharusnya menjadi simbol keadilan. Hal ini juga menciptakan ketidakadilan sistemik yang mengakar, di mana mereka yang tidak memiliki kekuasaan atau uang akan terus menjadi pihak yang dirugikan dalam sistem peradilan.
Menurut laporan Transparency International (2019), lebih dari separuh responden di beberapa negara Timur Tengah percaya bahwa hakim mereka terlibat dalam praktik korupsi.
Hal ini menunjukkan bahwa fenomena korupsi hakim bukanlah kasus yang terisolasi, melainkan masalah struktural yang membutuhkan perhatian serius. Ketika masyarakat mulai meragukan integritas pengadilan, mereka kehilangan kepercayaan terhadap proses hukum, yang pada akhirnya dapat mengguncang stabilitas sosial dan politik.
Lebih lanjut, korupsi hakim memperburuk ketimpangan sosial. Sebagaimana diungkapkan oleh Maiwan (2023), korupsi hakim sering kali memperburuk ketidakadilan bagi mereka yang sudah berada dalam posisi lemah, sehingga sistem peradilan tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk menegakkan keadilan, melainkan hanya menjadi sarana untuk memperkaya pihak-pihak yang memiliki kuasa.
Korupsi ini tidak hanya merugikan pihak-pihak yang terlibat langsung, tetapi juga menciptakan persepsi bahwa hukum dapat dibeli dan dipengaruhi oleh kekuasaan.
Perspektif hukum pidana Islam dalam menanggulangi korupsi hakim
Hukum Pidana Islam memiliki perspektif yang sangat berbeda dalam menangani korupsi, terutama yang dilakukan oleh hakim. Dalam Islam, seorang hakim tidak hanya dilihat sebagai seorang penegak hukum, tetapi juga sebagai wakil Tuhan yang memegang amanah besar untuk menegakkan keadilan.
Oleh karena itu, ketika hakim terlibat dalam korupsi, mereka tidak hanya melanggar hukum negara, tetapi juga melanggar norma-norma moral yang sangat dipegang dalam ajaran Islam.
Hukum Pidana Islam menawarkan solusi tegas untuk menangani korupsi hakim, melalui penerapan sanksi yang jelas dan terukur. Dalam hal ini, sanksi yang dikenakan bisa berupa hadd atau ta’zir.
Hadd merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syariat untuk pelanggaran tertentu, seperti pencurian atau penipuan besar, sementara ta’zir adalah hukuman yang ditentukan oleh penguasa atau hakim berdasarkan pertimbangan maslahat umat. Sanksi ini memiliki tujuan ganda: pertama, untuk memberikan efek jera kepada pelaku, dan kedua, untuk mencegah terjadinya praktik serupa di masa depan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Junaidy (2022), penerapan Hukum Pidana Islam dapat memperkuat moralitas aparat hukum, khususnya hakim, dengan menekankan pentingnya tanggung jawab moral selain pertanggungjawaban legal.
Hal ini menunjukkan bahwa Hukum Pidana Islam tidak hanya mengatur aspek legalistik dari tindakan korupsi, tetapi juga memberikan sanksi moral yang mendalam, yang berdampak pada perbaikan etika dan moral aparat peradilan.
Penguatan pengawasan dan implementasi hukum pidana Islam
Selain penerapan sanksi yang tegas, penguatan lembaga pengawas juga sangat diperlukan untuk mencegah korupsi hakim. Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung harus diberi peran yang lebih besar dalam memastikan bahwa hakim yang terlibat dalam praktik korupsi dihadapkan pada tindakan yang sesuai.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Rudiyansah (2024) yang mengkritisi lemahnya pengawasan terhadap hakim di Indonesia. Pengawasan yang ketat dan transparan adalah kunci untuk mencegah penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan.
Junaidy (2022) juga menggarisbawahi pentingnya integrasi prinsip Hukum Pidana Islam dalam sistem hukum nasional untuk mengurangi tingkat korupsi, khususnya di sektor peradilan.
Menurutnya, prinsip syariah yang menekankan keadilan dan tanggung jawab moral dapat memperbaiki budaya integritas di kalangan hakim dan aparat peradilan lainnya. Pengawasan yang lebih ketat, baik internal maupun eksternal, akan memastikan bahwa hakim bertindak sesuai dengan prinsip moral dan etika yang tinggi.
Penerapan prinsip hisbah dalam pengawasan sosial juga dapat menjadi solusi efektif untuk mengurangi korupsi. Dalam sistem peradilan Islam, hisbah berfungsi sebagai mekanisme untuk memastikan bahwa setiap aparat negara, termasuk hakim, menjalankan tugasnya dengan integritas dan sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
Korupsi hakim adalah ancaman serius yang dapat menggoyahkan integritas negara hukum. Praktik korupsi dalam lembaga peradilan merusak prinsip dasar negara hukum, yaitu keadilan yang adil dan tidak memihak.
Dengan penerapan Hukum Pidana Islam yang menekankan pada keadilan moral, pengawasan yang lebih ketat, serta pemberian sanksi yang tegas dan proporsional terhadap hakim yang terlibat dalam korupsi, diharapkan dapat memperkuat integritas sistem peradilan.
Penguatan pengawasan eksternal dan internal serta penerapan prinsip hisbah dalam pengawasan sosial dapat memperbaiki budaya integritas di kalangan hakim dan memastikan bahwa mereka menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Melalui pendekatan ini, negara hukum yang bersih dan adil dapat tercapai, yang pada akhirnya akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
R. Arif Mulyohadi
Dosen Prodi Hukum Pidana Islam Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan
Anggota ICMI Jawa Timur