Suaramuslim.net – “Kalau terkenang masa lalu, saya jadi malu,” ujar seorang kawan yang dulunya jurnalis sebuah majalah berita dan stasiun televisi terkemuka di negeri ini. Ibu muda ini memilih mengasuh anak, mendalami agama, dan sadar beralih busana: berjilbab lebar. Sebuah perubahan yang dulu tidak pernah terpikirkan melintas di pikiran saya.
Kawan jurnalis itu hanya contoh dari berjibunnya muslimah yang dulunya belum sempurna berjilbab, atau bahkan tidak menutup aurat sama sekali. Belum sempurna berjilbab karena beberapa alasan masih memilih untuk berkompromi dengan lingkungan hingga selera. Ada yang lumayan syar’i, tapi tak jarang harus membikin para lelaki memalingkan mata karena jilbabnya justru menggoda iman. Tapi sudahlah, itu bagian dari masa lalu yang kudu ditutupi.
Beberapa orang kenalan malah memilih berubah drastis kala tersadar akan tuntunan agama. Dulu, jangankan berjilbab lebar, berkerudung pun tidak. Tapi kini? Kalau tidak mengenalkan diri saat berbicara di muka publik, kita betul-betul terasing mengingat sang kawan hanya tampak dua binar matanya yang ingin menjaga persahabatan. Ya, ia memilih untuk bercadar atau niqab. Sebuah putusan ‘drastis’, dan semoga ini bagian dari sebuah kesadaran iman agar diistiqamahi.
Mengapa kudu diistiqamahi? Sebab, hidayah itu mahal, dan karena mahal kadang kita sering salah kira dengan kemenggebuan seseorang. Gara-gara kenal ini dan itu, terpikat ini dan itu, lantas berubah drastis. Kiranya kita bisa bedakan kasus beberapa selebritas yang tiba-tiba menutup aurat lantas di kemudian hari ‘memberontak’, bahkan sampai menggelar jumpa pers segala atas perubahannya itu.
Biarlah hidayah itu berjalan lewat pendakian, dan mari kita dukung ikhlas saudari kita yang tengah berbenah diri menjaga kesucian. Tak perlu komentari tajam atas perubahan yang masih parsial, hanya karena masih berpunuk ria pilihan penutup rambutnya. Mungkin hari ini ia masih begitu, esok kita tahu ia akan bagaimana. Pun tak perlu kaitkan dengan selera atau hobinya yang masih belum pantas disebut syar’i.
Selain itu, kita juga tak perlu melambungkan mereka yang tetiba drastis berubah. Bantuan kita kepada mereka yang pernah populer dalam profesi apa pun adalah dengan menemaninya di jalan Islam dan dakwah. Bukan dengan membebaninya yang memilih untuk berpamit diri dari jalan hiburan. Atau mengulasnya berkali-kali dengan pembebanan tanpa disadari, padahal yang bersangkutan masih dalam sengkarut gundah akibat diusir keluarga tercinta.
Senyampang saya bungah dengan perubahan kawan eks jurnalis, saya dapati berita berubahnya kawan lama yang dulu betah dengan jilbab lebar. Sayang sungguh sayang, mereka yang dulu paham apa batasan dan makna jilbab syar’i, bahkan turut memopulerkannya, kini beringsut untuk mengecikan diri. Malah ada yang memilih untuk enggan berjilbab sama sekali, alias membuka rambutnya untuk umum!
Sungguh, saya sempat syok dengan perubahan mereka. Tak terpikir pula mereka kini nyaman dengan jeans ketat dengan kerelaan suami. Atau sekadar jilbab mengecil ala kadar ke mana-mana tanpa risih dilihati. Jangan tanya perasaan kami kawannya terhadap mereka yang membuka bulat-bulat tudung kepalanya. Sejujurnya, karena polah demikian kini wira-wiri dan “diteladankan” sebagian anutan, saya menjadi terbiasa kendati tidak juga menyetujui. Hanya, perbedaan itu biarlah ada yang pantas menilainya di alam sana nanti.
Memang, ada yang memilih ‘jalan’ itu tak lantas berhak dihakimi sesatlah, fasiklah, hinalah, atau sebatas futurlah. Ada pergumulan yang kadang tidak ringan di balik mengecil hingga menghilangnya jilbab lebar mereka. Mulai soal pasangan, urusan kantor, hingga perpisahan dan pengkhianatan dari orang tersayang. Yang mungkin bisa diperbuat adalah mendengarkan mereka sebagai seorang manusia pemeluk Islam. Ini saja, sederhana yang saya perbuat. Sebab, bila ukurannya adalah masa menggebu-atau malah kala puber—harakah, hanya perpisahan yang kemudian hadir. Kita dan mereka seperti dua dunia. Padahal, sejatinya ia yang berubah juga masih ada hak untuk kita temani. Sama dengan kawan baru yang mantap dalam jilbab lebarnya setelah semua bangga dengan pamer rambut pirangnya.
Perubahan itu menjadi bermakna tatkala seorang perempuan sudah menetapkan putusan sebagai seorang ibu. Seperti kawan tadi. Betapa ia sadari perubahan itu bakal memengaruhi kejiwaan anaknya. Dan itu ia syukuri. Saya bayangkan bagaimana seorang perempuan sekaligus ibu yang dulunya berjilbab rapat dan lebar, kini bangga terbuka atau melepas sama sekali, menurut pandangan pendidikan bagi anak-anaknya. Betapa banyak keganjilan di tengah kita, perempuan-perempuan bertitel ibu mendorong putri-putrinya menutup aurat tapi dianya malah berbuka ria. Ada yang masih berproses, namun ada juga yang “menikmati” keadaan yang dijalani sebagai bukan-prioritas.
Satu yang dilupakan: bagaimana peneladanan mereka pada buah-buah hatinya. Kini dan esok. Segala putusan itu, walau tampak “remeh” dalam bab menutup aurat, insyaallah akan menjejak kuat dalam jiwa. Sebentuk rakitan kejiwaan yang akan berfaedah pada anak-anak tercinta mereka. Di situlah arti penting keteladan bagi seorang perempuan ataupun ibu yang menetapi perubahan ke arah yang baik. Tanpa harus menanti tahun berganti ataukah momen hari kaumnya, para ibu saban tahun.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net