ICMI dan arsitektur ekonomi halal Indonesia

Suaramuslim.net – Penetapan Bali sebagai tuan rumah Silaknas ICMI 2025 seolah merupakan pernyataan politik-keilmuan: bahwa ekosistem halal tidak boleh terkungkung dalam dikotomi “wilayah mayoritas muslim” versus “wilayah nonmuslim”. Justru, Bali yang selama ini menjadi ikon wisata global, dipilih sebagai laboratorium nasional untuk membuktikan bahwa industri halal adalah economic enabler yang bersifat inklusif, rasional, modern, dan berorientasi pasar.

Dalam konteks pembangunan nasional pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, ekonomi halal dan keuangan syariah digital menjadi dua pilar yang terus mendorong diversifikasi ekonomi, perluasan pasar UMKM, dan positioning Indonesia dalam peta ekonomi syariah global.

ICMI harus mampu membaca peta itu, lalu menempatkan dirinya sebagai knowledge broker sekaligus policy influencer dalam arsitektur pembangunan lima tahun ke depan.

Silaknas 2025 di Bali menjadi ruang menentukan, apakah ICMI mampu mengartikulasikan ulang relevansinya di tengah disrupsi teknologi, transformasi sosial, dan pertarungan kepentingan ekonomi digital global.

Ekosistem halal: Menuju infrastruktur kebijakan

Selama satu dekade terakhir, ekonomi halal sering dirayakan dalam seminar namun lambat dalam implementasi. Tantangan utamanya terletak pada dua hal: regulasi yang belum sepenuhnya sinkron, serta kapasitas pelaku UMKM yang tidak merata.

Dengan menggandeng BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) dalam penyelenggaraan Silaknas, ICMI menggeser pola diskusi dari “peletakan dasar” ke “penerapan strategis”. Mulai dari roadmap program halal, inovasi pemasaran, hingga strategi percepatan sertifikasi halal yang adaptif terhadap realita UMKM. Ini krusial karena bisa dibilang 99 persen pelaku usaha Indonesia berada pada kategori mikro dan kecil.

ICMI, dalam kapasitasnya sebagai komunitas intelektual, memiliki peluang besar untuk menjembatani tiga kelompok pemangku kepentingan, yaitu: pemerintah sebagai regulator, dunia usaha sebagai enabler, dan masyarakat sebagai pengguna. Namun jembatan pengetahuan tidak cukup dengan forum diskusi. Dibutuhkan guidance, model implementasi, pusat pelatihan, dan rekomendasi kebijakan yang konkret.

Bali bisa menjadi testbed untuk penerapan kebijakan berbasis data dan teknologi: dari traceability rantai pasok makanan halal, standardisasi konten wisata halal, hingga pemanfaatan AI dalam pengawasan sertifikasi. ICMI perlu memimpin narasi bahwa ekonomi halal bukan hanya soal label, tetapi tentang kepercayaan, kompetensi, dan kualitas layanan publik.

Keuangan syariah digital: Mesin pertumbuhan UMKM

Tema Silaknas 2025 mengangkat isu keuangan syariah digital. Isu yang tepat waktu ketika Indonesia sedang memperkuat konektivitas inklusif di sektor keuangan. Pembayaran digital, microfinancing, peer-to-peer lending, hingga instrumen pembiayaan sosial Islam seperti zakat dan wakaf digital mengalami pertumbuhan eksponensial.

Namun, seperti industri digital lainnya, keuangan syariah digital juga menghadapi risiko regulasi, keamanan data, dan ketimpangan literasi digital. Dalam lanskap ini, ICMI memiliki ruang strategis untuk memberikan pengaruh pemikiran kepada OJK, BI, dan Kementerian Perekonomian mengenai bagaimana instrumen keuangan syariah digital dapat terhubung langsung dengan UMKM halal.

Kecenderungan global menunjukkan bahwa negara yang berhasil membangun ekosistem halal modern tidak hanya memiliki pasar halal, tetapi juga digital financial backbone yang kuat. Malaysia, UAE, dan Arab Saudi sudah melangkah sejauh itu.

Indonesia belum. Namun momentum berada di depan mata. Silaknas ICMI 2025 dapat menjadi titik percepatan penyusunan policy paper nasional mengenai integrasi ekonomi halal dan keuangan syariah digital sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Mengapa Bali? Pesan strategis di balik lokasi

Bali menghadirkan tiga keuntungan strategis. Pertama, Bali adalah pusat wisata dunia dengan sistem manajemen destinasi pariwisata yang paling matang di Indonesia. Mengangkat tema ekosistem halal di Bali bukan upaya “mengislamkan Bali”. Tapi menunjukkan bahwa layanan halal adalah valueadded services yang dapat hidup berdampingan dengan pariwisata konvensional.

Kedua, Bali membuka ruang kolaborasi dengan pelaku industri pariwisata global. Mulai dari Hotel, restoran, maskapai, travel platform, hingga investor. Ini penting karena ekonomi halal membutuhkan integrasi rantai nilai yang luas, bukan hanya sertifikasi produk.

Ketiga, Bali adalah representasi toleransi dan inklusivitas. Di tengah kecenderungan polarisasi nasional, penyelenggaraan Silaknas di Bali mencerminkan bahwa ICMI siap beradaptasi dengan dinamika sosial politik yang lebih plural. Narasi inklusi ini penting untuk generasi muda.

ICMI: Relevansi, regenerasi, dan konsolidasi pengetahuan

Sejak era 1990-an, ICMI telah memainkan peran historis sebagai motor pemikiran pembangunan. Namun zaman berubah. Organisasi ini menghadapi tiga tantangan besar:

Pertama, tantangan relevansi. Dalam era dominasi platform digital, suara intelektual sering tersisih oleh narasi populis, viral, dan dangkal. ICMI harus kembali menjadi rujukan keilmuan yang berbasis data dan metodologi yang kuat.

Kedua, tantangan regenerasi. Mayoritas pengurus daerah masih didominasi generasi senior. Sementara itu, digital native membutuhkan ruang untuk berkreasi dan memimpin. National Leadership Camp menjadi langkah awal, tetapi perlu dilanjutkan dengan talent mapping, inkubasi pemikiran muda, dan pelibatan generasi Z dalam struktur organisasi.

Ketiga, tantangan konsolidasi pengetahuan. ICMI memiliki ribuan cendekiawan dalam berbagai bidang, namun belum terhubung dalam sistem pengetahuan terpadu. Dibutuhkan ICMI Knowledge Grid, platform digital yang memungkinkan integrasi riset, publikasi, database ahli, dan rekomendasi kebijakan secara real time.

Jika tiga tantangan ini tidak dijawab, maka peluang besar di era ekonomi halal global bisa hilang dari genggaman.

Agenda strategis untuk pemerintahan Prabowo

Silaknas 2025 harus melahirkan agenda kebijakan yang konkret, tidak berhenti pada seminar. Beberapa agenda kunci yang dapat ditawarkan ICMI kepada pemerintah adalah:

1. Blueprint Nasional Ekosistem Halal yang mengintegrasikan BPJPH, UMKM, pariwisata, industri pangan, dan digital platform dalam satu peta jalan.

2. Regulasi keuangan syariah digital yang adaptif terhadap perkembangan teknologi, termasuk perlindungan data dan inklusi UMKM.

3. Model Destinasi Wisata Halal Bali, sebagai pilot project layanan halal tanpa mengubah identitas budaya lokal.

4. Standar kompetensi dan kurikulum halal nasional, bekerja sama dengan perguruan tinggi dan industri.

5. Pusat Riset Halal-ICMI yang terhubung dengan ekosistem riset global.

Agenda-agenda tersebut dapat menjadi kontribusi nyata ICMI dalam membantu pemerintah mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam ekonomi halal global.

Menata masa depan dari Bali

Silaknas ICMI 2025 adalah momentum penentu arah masa depan organisasi dan kontribusi ICMI terhadap negara. Bali memberikan panggung strategis bagi ICMI untuk menunjukkan bahwa diaspora cendekiawan muslim Indonesia mampu membaca zaman, memahami teknologi, dan merancang solusi kebijakan yang menyentuh kepentingan nasional.

Jika ICMI berhasil keluar dari jebakan rutinitas dan melahirkan rekomendasi strategis yang aplikatif, maka Silaknas di Bali akan menjadi tonggak baru perjalanan ICMI: dari organisasi diskursus menuju organisasi penggerak kebijakan.

Dan dari Bali, Indonesia dapat mengirim pesan kepada dunia bahwa ekonomi halal modern bukan narasi sektarian, tapi justru masa depan ekonomi nasional yang inklusif, kompetitif, dan berperadaban.

Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.