Suaramuslim.net – Dalam diskusi di study club, studica Islamica, di Jakarta pernah mendiskusikan tentang idealisme dan realisme.
Ada kesan pendikotomian memahami kedua semantik filsafat itu. Padahal alih-alih berdikotomi, seharusnya keduanya adalah komplimen.
Idealisme dan realisme adalah terminologi yang datang dari belantara filsafat Barat. Tanpa sadar, sedikit banyak kita telah dijajah dengan kedua terminologi tersebuti, terutama oleh Aristotelian. Idealisme diasumsikan sebagai puncak kemuliaan sedang realisme dinyatakan sebagai pengakuan dari kenyataan yang tak berubah.
Para pemikir berikutnya telah mengoreksi pemikiran Aristoteles, seperti Al Ghazali yang mengatakan bahwa pada manusia biasa tak ada capaian puncak kemuliaan, karena kemuliaan adalah milik Allah semata -demikian dengan wujud atau kenyataan, ia bersifat relatif, sebab kesejatian wujud juga hanya ada pada Allah.
Dalam berdiskusi filsafati, belakangan ini saya lebih menikmati istilah “roja'” dan “khauf” atau harapan dan kekhawatiran, ketimbang terminologi idealis yang penuh euforia keme-kungkungan yang tak berbatas. Saya juga menjadi tak terlalu menyuka istilah realis yang menjadi berkesan bongkokan, keset lan pasrah.
Dunia sufi timur menjelaskan makna roja’ dan khauf, sekaligus memperkenalkan semantik pemikiran komplementer dari semantik filosof barat.
Penjelasannya adalah bahwa pada setiap aktivitas manusia di dalamnya ada roja’, ada harapan, ada perjuangan, tetapi mana kala apa yang kita harapkan tak kunjung tiba, ada mekanisme hati yang mau menerima kenyataan.
Mekanisme ini terlatih atau bisa didapati dari empirisasi “dien” melalui mengingat dan menghambakan secara sungguh pada yang Maha Mencipta.
Pada setiap aktivitas di dalamnya akan ada “khauf”, ada kekhawatiran, bahwa sesuatu bisa tak tercapai, sesuatu yang buruk bisa terjadi, semua karena kesadaran bahwa banyak kelemahan sumber daya yang ada pada manusia. Tetapi di balik kekhawatiran itu juga ada keyakinan bahwa sesuatu bisa terjadi, jika Allah berkehendak.
Jadi aktivitas hidup itu, apakah aktivitas sosial, ekonomi bahkan politik cuma bentangan roja’ dan khauf.
Setiap pribadi punya roja’ dan khauf masing-masing, di mana pada akhirnya tak ada yang patut digundahkan, bahkan daun yang jatuh pun telah ada yang mengaturnya. Hanya saja seberapa jauh kita memahami makna jatuhnya daun itu, sangat tergantung dari perjalanan keilmuan kehidupan yang kita jalani.
Apa kata Abu Aqira?
Duhai idealisme aku rengut kau dengan jemariku! Dan aku lepas jua dengan sanubariku.
Duhai realita,
aku pikir engkau ada!
Padahal ternyata ku cumbu kau tanpa senyatanya.*
Cibinong, 16 Juni 2019
Yudha Heryawan Asnawi – Sosiolog, pengajar di Sekolah Bisnis IPB
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net