Ijazah berasal dari bahasa Arab ijazatan. Ajaza-yujizu-ijazatan-mujizun artinya dibolehkan atau bebas. Istilah ijazah dalam tradisi Islam berasal dari ungakapan istajaztuhu al-maa’ fa ajazani / aku meminta air padanya lalu ia memberiku. Maknanya ialah seorang murid meminta curahan ilmu dari gurunya maka gurunya memberi ilmu.
Istilah serupa ialah syahadah. Syahada – yusyahidu – syahadatan – syahidun – musyahidun artinya persaksian atau kesaksian. Kini, baik ijazah maupun syahadah merujuk pada selembar kertas yang menyatakan kelulusan seseorang dengan nilai tertentu dari sebuah pelajaran atau lembaga pendidikan.
Guru kerap memberi ijazah cukup dengan lisan, bukan kertas, misalnya dengan berkata, ”Ajaztuka hadza kama ajazani syaikhi ‘Aku ijazahkan ini kepadamu sebagaimana guruku mengijazahkan kepadaku.’” Ijazah ini dapat berupa qiraat Al Quran, riwayat hadits, wirid, doa, dan zikir.
Dalam tradisi Islam, ada tiga jenis ijazah. Pertama, ijazah yang menyatakan telah selesai dari pelajaran tertentu. Ijazah jenis ini seperti ijazah matan jurumiyah, alfiyah Ibnu Malik, ijazah riwayat hadits, dll.
Kedua, ijazah berupa rekomendasi mengajar. Ijazah ini diberikan oleh guru sebagai persaksian bahwa pemegang ijazah telah boleh mengajar pelajaran tertentu.
Ketiga, ijazah fatwa. Ini ijazah tertinggi. Tidak mudah memperoleh ijazah ini. Hanya mufti yang berhak memberi ijazah fatwa.
Kini, Ramadhan telah berlalu. Selama bulan Ramadhan, tak henti-hentinya guru-guru kita, para muballigh dan khatib, mengingatkan bahwa Ramadhan adalah madrasah. Ramadhan adalah bulan ujian. Ramadhan adalah bulan belajar. Ramadhan adalah bulan untuk belajar taat, dermawan, sholeh, berdoa, beribadah. Ramadhan adalah bulan ujian menahan kantuk untuk beribadah, menahan kaki dan tangan dari bermaksiat, menahan lisan untuk berdusta dan bergunjing/menggosip.
Keluar dari bulan Ramadhan, sudah sepatutnya kita bertanya. Nilai apa yang tertera dalam ijazah Ramadhan kita? Apa taqdir-nya? Mumtaz-kah? Jayyid jiddan? Jayyid? Atau sekadar Maqbul? Berapa nilainya? 100, 90, atau 80?
Kita tentu berharap nilai tertinggi. Persoalannya, bagaimana mengetahui nilai ijazah ramadhan kita sedang malaikat tidak memberi selembar kertas dari langit?
Dalam kitab Latha’if al-Ma’arif , Imam Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan, “Jika Allah menerima perbuatan baik seorang hamba maka Ia akan memberinya taufik untuk melakukan amal soleh berikutnya.” Seorang ulama salaf berkata, “Balasan perbuatan baik adalah perbuatan baik setelahnya. Siapa saja yang mengerjakan kebaikan, lalu mengerjakan kebaikan lagi setelah itu, maka itu merupakan pertanda amal baik sebelumnya diterima. Siapa saja mengerjakan kebaikan, lalu mengerjakan keburukan sesudah itu, maka itu merupakan pertanda amal kebaikan itu tertolak atau tidak diterima.”
Usainya bulan Ramadhan jangan membuat kita putus asa berdoa. Mari terus berdoa seperti para ulama terdahulu berdoa selama 6 bulan setelah Ramadhan agar pahala mereka selama Ramadhan diterima Allah.
Jangan sampai kita termasuk orang yang dicela oleh Imam Bisyr bin al-Harits. Beliau berkata, sebagaimana dikutip Imam Ibnu Rajab dalam Latha’if al-Ma’arif, “Mereka (yakni orang yang hanya rajin beribadah pada bulan Ramadhan) adalah orang-orang yang sangat buruk. Mereka tidak mengenal Allah kecuali hanya pada bulan Ramadhan. Hamba Allah yang sholeh adalan mereka yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah setahun penuh.”
Semoga Allah memberi kita taufik untuk melanjutkan keshalihan selama Ramadhan dalam bulan-bulan selanjutnya. Allahumma amiin.
Oleh: Wahyudi Husain*
Editor: Oki Aryono
*Staf pengajar Pesantren At Taqwa Depok, Jawa Barat