Suaramuslim.net – Di masyarakat Betawi, ada tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka di bidang agama, yaitu pondok pesantren, madrasah, dan majelis taklim. Dari tiga jenis institusi ini, pondok pesantren merupakan institusi pendidikan tertua di Betawi dibanding yang lainnya, yaitu sejak abad ke-14 dengan berdirinya Pondok Pesantren Syekh Quro.
1. Pondok Pesantren
Di Indonesia, ada dua model pondok pesantren, yaitu pondok pesantren salafi dan pondok pesantren modern. Pesantren salafi menerapkan pola tradisional. Para santri bekerja untuk kiai mereka, bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya. Sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kiai mereka tersebut. Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali.
Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat Subuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kiai atau ustaz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan Al Quran.
Sedangkan pondok pesantren modern adalah pesantren yang mengajarkan pendidikan umum. Persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri.
Pada pesantren dengan materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran untuk tingkat SMP terkadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara madrasah tidak.
Sebelum kemerdekaan, model pondok pesantren di Betawi adalah pondok pesantren salafi. Salah satu pondok pesantren salafi yang terkenal adalah yang didirikan dan dipimpin oleh Guru Marzuki, Cipinang Muara. Hampir semua orang tua Betawi pada zaman itu yang ingin anaknya menjadi ulama memasukan anaknya ke Pondok Pesantren Guru Marzuki, Cipinang Muara.
Bangunan fisik dari pondok pesantrennya terdiri atas empat bangunan sederhana yang terbuat dari bilik yang dikapur putih dengan arsitektur Betawi. Dua bangunan kecil dan dua bangunan besar memanjang, dengan komposisi: besar, kecil, besar, kecil. Dua bangunan besar merupakan tempat mengaji dan tempat tinggal santri laki-laki yang mondok, sedangkan dua bangunan kecil merupakan rumah Guru Marzuki yang juga berfungsi sebagai tempat mengaji santri perempuan.
Pada saat ini, pondok pesantren salafi di Betawi tidak ada lagi, yang masih bertahan adalah pesantren salafi non-pondok, seperti Pesantren Al-Ihsan, Cakung Barat. Yang kini berkembang adalah model pondok pesantren modern, seperti Pondok Pesantren Al-Itqon, Duri Kosambi, Jakarta Barat dan lain-lain.
2. Madrasah
Madrasah di Indonesia dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut atau pembaruan dari lembaga pendidikan pesantren atau surau. Khusus di Betawi, madrasah yang pertama kali berdiri adalah Madrasah Jam`iyatul Khair yang didirikan oleh Ali dan Idrus yang berasal dari keluarga Shahab. Ulama Betawi yang pernah dididik di madrasah ini di antaranya adalah Syekh Dr Nahrawi Abdussalam Al-Indunisi.
Menyusul kemudian Madrasah Unwanul Falah, Kwitang yang didirikan oleh Habib Ali Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) pada tahun 1911. Murid-murid yang dididik di madrasah ini kemudian menjadi ulama Betawi terkemuka, seperti KH Abdullah Syafi`i, KH Thohir Rohili, KH Zayadi Muhadjir, KH Ismail Pendurenan, KH Muhammad Naim Cipete, KH Fathullah Harun dan Mu`allim KH M. Syafi`i Hadzami.
Lalu berdiri pula Madrasah Al-Ihsaniyah, di Salemba Tegalan, yang salah satu muridnya adalah KH Fathullah Harun.
Madrasah di tanah Betawi berkembang pesat setelah kemerdekaan yang kebanyakan didirikan dan dipimpin oleh ulama Betawi terkemuka. Seperti Madrasah Asy-Syafi`iyyah yang didirikan oleh KH. Abdullah Syafi`i, Madrasah Ath-Thohiriyyah yang didirikan oleh KH. Thohir Rohili, Madrasah Al-Wathoniyyah yang didirikan oleh KH. Hasbiyallah dan kini memiliki lebih dari 60 cabang, Madrasah Al-Khalidiyah yang didirikan oleh KH. Khalid Damat, Madrasah Manhalun Nasyi`in yang didirikan oleh KH. Abdul Hanan Said, dan lain-lain.
Dari madrasah ini lahirlah ulama Betawi, seperti KH. Saifuddin Amsir yang merupakan alumni dari Madrasah Asy-Syafi`iyyah.
Setelah ditetapkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989 dan sejumlah peraturan yang mengikutinya, madrasah didefinisikan sebagai “sekolah umum berciri khas agama Islam”, maka masa keemasan madrasah sebagai tempat pendidikan agama untuk calon ustaz dan ulama di Betawi khususnya pun berakhir. Karena dengan definisi baru itu, madrasah mengalami perubahan yang cukup mendasar, baik dari segi kelembagaan, kurikulum, maupun guru.
Dari segi kelembagaan, madrasah kini bukan lagi lembaga pendidikan agama, tetapi lembaga pendidikan umum dengan kedudukan sama dengan sekolah-sekolah lainnya; dari segi kurikulum, madrasah mengajarkan materi yang sama dengan sekolah-sekolah umum yang lain; dari segi guru, madrasah (diharapkan) memiliki guru dengan keahlian yang sama dengan sekolah-sekolah umum.
Dengan persamaan-persamaan tersebut, praktis yang membedakan hanyalah embel embel “ciri khas Islam” yang melekat di belakang madrasah. Imbasnya, tidak sedikit madrasah swasta yang tutup di Jakarta. Hal ini disebabkan turunnya minat orang tua untuk memasukkan anaknya ke madrasah dengan pertimbangan bahwa madrasah telah menjadi institusi pendidikan yang gamang. Jika ingin menjadikan anaknya sebagai ulama, lebih baik ke pondok pesantren dan tidak usah ke madrasah atau jika ingin anaknya berhasil dalam bidang umum, lebih baik ke sekolah umum dan tidak usah ke madrasah.
Salah satu madrasah Betawi yang telah tutup dan menjadi sekolah umum adalah Madrasah Al-Khalidiyah, Pulo Gadung yang kini menjadi SMP Al-Khalidiyah.
Lanjut ke halaman 2