3. Majelis Taklim
Majelis taklim merupakan institusi pendidikan yang memiliki fungsi strategis dalam memaksimalkan masjid sebagai tempat pendidikan umat. Hal ini dikarenakan, sebagian besar majelis taklim dari dahulu sampai sekarang, khususnya di Betawi, menjadikan masjid sebagai tempat aktivitasnya dan sangat berperan penting dalam melahirkan ulama Betawi yang mumpuni di bidangnya.
Salah satu contohnya adalah mualim KH. Syafi`i Hadzami, `allamah di bidang fikih Asy-Syafi`i yang pengaruhnya sangat luas bahkan sampai hari ini, baik di masyarakat Betawi atau di luar Betawi. Beliau merupakan ulama produk asli dari binaan banyak majelis taklim di Betawi. Pada masa menuntut ilmu, tidak kurang dari 11 majelis taklim dengan 11 orang guru yang beliau datangi dalam rangka menuntut berbagai disiplin ilmu agama.
Setelah menjadi ulama, beliau pun mengajar tidak kurang di 30 majelis taklim sampai akhir hayatnya. Dari pengajaran majelis taklimnya, terlahir ulama Betawi terkemuka, seperti KH. Drs. Saifuddin Amsir, KH. Maulana Kamal, KH. Abdurrahman Nawi, dan lain-lain. Yang mereka pun juga meneruskan pengajaran di majelis taklim-majelis taklim baik di tempat gurunya pernah mengajar atau majelis taklim yang dibentuknya atau di majelis taklim yang dimiliki pihak lain.
Namun, sejak kapan majelis taklim ada di tanah Betawi? Dari hasil penelitian Ridwan Saidi dan Alwi Shahab, bahwa Majelis Taklim Habib Ali Kwitang (Habib Ali al-Habsyi) yang pertama kali beraktivitas pada tanggal 20 April 1870 merupakan yang tertua di Betawi.
Setelah Habib Ali Kwitang wafat, majelisnya diteruskan oleh anaknya, Habib Muhammad al-Habsyi, dan kemudian dilanjutkan oleh cucunya Habib Abdurrahman al-Habsyi. Dari Majelis Taklim Habib Ali Kwitang inilah muncul ulama-ulama besar Betawi, seperti KH. Abdullah Syafi`ie (pendiri Perguruan Islam Asy-Syafi`iyyah) dan KH. Tohir Rohili (pendiri Perguruan Islam Ath-Thahiriyah).
Keduanya kemudian juga mendirikan majelis taklim, yaitu Majelis Taklim Asy-Syafi`iyah, di Bali Matraman, Jakarta Selatan dan Majelis Taklim Thahiriyah di Jalan Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan. Kedua majelis taklim ini kemudian berkembang pesat sehingga memiliki perguruan Islam, mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Dalam perkembangannya, kedua majelis taklim tersebut lebih menonjol kepesertaannya dari kalangan ibu-ibu atau perempuan dan dipimpin oleh anak-anak perempuan mereka. Umat Islam di DKI Jakarta, terutama kalangan muslimat, tidak asing dengan nama Dr. H. Tuti Alawiyah AS (penerus Majelis Taklim Asy-Syafi`iiyah) dan Dr. Hj. Suryani Thahir (penerus Majelis Taklim Ath-Thahiriyah/As-Suryaniyah Ath-Thahiriyah).
Keberhasilan majelis taklim-majelis taklim di Betawi dalam mencetak ulama, menurut KH. Drs. Saifuddin Amsir paling tidak karena tiga hal.
Pertama, tidak adanya batasan waktu, seperti SKS di perguruan tinggi, untuk menyelesaikan satu disiplin ilmu atau satu kitab; kedua, anak didik atau murid mempunyai kebebasan waktu dan kesempatan untuk menanyakan dan menyelesaikan pelajaran yang tidak dia pahami kepada gurunya; dan ketiga, anak didik atau murid langsung dihadapkan dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
Hasilnya, dalam beberapa kesempatan telah teruji bahwa lulusan majelis taklim memiliki pemahaman ilmu agama yang lebih mendalam daripada lulusan perguruan tinggi Islam. Bahkan menurut beliau, tidak sedikit para sarjana bidang Islam yang bergelar doktor dan profesor menjadikan lulusan majelis taklim sebagai tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah yang pelik di bidang keislaman.
Apa yang disampaikan oleh KH. Saifuddin Amsir sangat beralasan karena jika dilihat dari kitab-kitab yang dibahas dan diselesaikan di Majelis Taklim tidak banyak dikupas bahkan tidak pernah dibahas secara tuntas di perguruan tinggi Islam.
Sedemikian pentingnya majelis taklim bagi umat Islam, khususnya masyarakat Betawi, sebagai salah satu tempat utama dan terpenting untuk mencetak ulama masa depan tentu menjadi sebuah keprihatinan jika melihat kondisi majelis taklim yang secara fisik bangunan banyak yang tidak memadai lagi untuk digunakan. Belum lagi semakin rendah kemampuan para murid dan penyelenggara untuk membiayai operasional majelis taklimnya.
Sudah saatnya segenap pihak terkait memperhatikan secara lebih serius dan mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan keberadaan majelis taklim-majelis taklim tersebut, yang sebenarnya menyelamatkan keberadaan ulama yang mumpuni untuk generasi sekarang dan akan datang.
Sumber: Genealogi Intelektual Ulama Betawi; Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21. Diterbitkan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta Islamic Centre, 2011.