Suaramuslim.net – Di tengah melonjaknya harga emas yang nyaris menyentuh Rp2 juta per gram pada pertengahan April 2025, banyak masyarakat Indonesia mulai kembali melirik logam mulia sebagai alat simpanan dan investasi jangka panjang. Bahkan sebagian bertanya lebih jauh: Apakah emas batangan lebih menguntungkan dibandingkan dinar emas yang juga disarankan dalam sistem keuangan Islam?
Pertanyaan ini tidak hanya menarik secara ekonomi, tetapi juga penuh hikmah jika dikaji dari perspektif syariah dan strategi keuangan berkelanjutan.
Emas vs Dinar: Apa bedanya?
Secara teknis, dinar adalah koin emas dengan berat standar 4.25 gram yang digunakan sejak masa Kekhalifahan Umayyah, dan kini banyak dikembangkan kembali dalam sistem keuangan Islam modern. Sementara emas batangan adalah bentuk emas murni (biasanya 24 karat) yang dicetak oleh produsen seperti Antam atau UBS dan diperdagangkan berdasarkan harga pasar global.
Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada fungsi, niat penggunaannya, dan sistem distribusi. Dinar secara konseptual bukan hanya komoditas, tapi bagian dari sistem ekonomi Islam yang menghindari riba dan inflasi. Emas batangan, meskipun memiliki nilai lindung yang kuat, lebih berorientasi pada pasar bebas dan spekulasi harga.
Dinar dalam perspektif Islam
Imam Malik dalam Al-Muwatha’ dan para fuqaha klasik mencatat bahwa dinar dan dirham digunakan sebagai alat ukur nilai dan standar pembayaran yang adil. Ibnu Khaldun menyebut bahwa sistem berbasis emas dan perak menjaga stabilitas sosial karena tidak bisa dimanipulasi secara bebas oleh penguasa melalui pencetakan uang kertas (Muqaddimah, 1377 M).
Dalam konteks modern, penguatan sistem ekonomi syariah dengan basis dinar kembali digaungkan oleh pemikir seperti Umar Vadillo dan Tarek El Diwany, yang mengkritik dominasi uang fiat dan mengusulkan kembali pada sound money system. (El Diwany, The Problem with Interest, 2003).
Keunggulan emas batangan
Namun dalam praktik saat ini, emas batangan memiliki keunggulan likuiditas dan kemudahan akses yang lebih tinggi. Masyarakat bisa membeli melalui toko, bank syariah, maupun aplikasi digital. Di sisi lain, dinar masih terbatas pada kalangan tertentu dan belum menjadi instrumen investasi yang umum.
Dalam konteks volatilitas global, logam mulia menjadi safe haven asset yang diandalkan. Data dari World Gold Council (2024) menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir, emas memberikan imbal hasil tahunan rata-rata 7–8%, lebih tinggi dibandingkan banyak aset konvensional. Tapi tetap perlu diingat: emas adalah alat penyimpan nilai, bukan mesin pencetak kekayaan instan.
Psikologi konsumen dan efek media
Banyak masyarakat membeli emas bukan karena strategi, melainkan karena dorongan emosional dan pengaruh sosial. Ini dikenal sebagai herding behavior, sebagaimana dijelaskan oleh Robert Shiller dalam Narrative Economics (2019).
Dalam situasi penuh ketidakpastian, seperti konflik geopolitik atau potensi resesi, masyarakat cenderung melakukan pembelian panik yang justru meningkatkan risiko salah langkah (Bounded Rationality, Simon, 1955).
Sama halnya dengan fenomena antrean emas beberapa waktu lalu, banyak terjadi karena ilusi kelangkaan yang diperkuat media sosial. Bukan karena semua paham strategi investasi.
Strategi bijak, kombinasi, literasi, dan niat
Maka, daripada memilih salah satu secara mutlak, strategi terbaik adalah kombinasi yang seimbang. Simpan sebagian aset dalam emas batangan untuk fleksibilitas, dan sebagian dalam dinar untuk kestabilan dan nilai syariah. Namun, lebih penting dari bentuknya adalah niat, pemahaman, dan rencana jangka panjang.
Investasi dalam Islam bukan semata soal untung-rugi finansial, tapi soal keberkahan. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang saleh.” (HR Ahmad).
Dari emas ke hikmah
Fenomena emas, jika disikapi dengan ilmu dan kesadaran, bisa menjadi momen emas untuk meningkatkan literasi keuangan umat. Namun jika direspons dengan kepanikan, bisa menjebak dalam jebakan ilusi kekayaan.
Baik emas maupun dinar bukan tujuan, melainkan sarana. Maka tugas kita adalah menggunakannya dengan cerdas, syar’i, dan penuh tanggung jawab sosial. Sebagaimana pepatah Arab menyatakan: al-‘ilm qabla al-‘amal—ilmu dulu sebelum amal. Investasi pun demikian. Jangan hanya ikut-ikutan membeli emas atau dinar karena sedang naik, tapi pahami nilainya, fungsinya, dan tempatnya dalam peta keuangan keluarga kita.
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur