Penulis: Dr. Slamet Muliono
Suaramuslim.net – Kaum muslimin di Indonesia terus menerus diterpa dengan berbagai pemikiran keagamaan yang menyimpang. Pemikiran itu seolah-olah baru dan menjadi bagian penting dalam memperkuat dan menopang Islam, tetapi dalam perjalanannya justru menggoyahkan keyakinan umat Islam.
Salah satu di antara fenomena yang menyeruak adalah perdebatan yang berujung ketegangan antar umat Islam. Namun dalam perkembangannya, berbagai bentuk pemikiran menyimpang itu cenderung menyurut seiring dengan penolakan dan perlawanan umat Islam.
Dalam perkembangannya, penggagas pemikiran menyimpang itu memodifikasi dan berganti ide dalam menyajikan pemikirannya. Kaum muslimin juga merespon pemikiran keagamaan, yang dikemas dengan wacana baru itu, dengan harapan baru dengan berharap adanya kebaikan bagi keyakinan keagamaannya.
Tetapi pada perkembanggannya juga menimbulkan kegaduhan baru dan berujung konflik di antara umat Islam. Hal berjalan silih berganti, sehingga hampir menghabiskan energi umat Islam.
Islam Nusantara: Menghargai Budaya
Hadirnya wacana Islam Nusantara juga demikian, dimana gagasan itu terus bergaung dan sengaja digerakkan untuk menjadi rujukan umat Islam Indonesia dalam beragama. Islam Nusantara diharapkan menjadi mainstream dan standar dalam menentukan kebenaran beragama.
Seolah sebagai respon atas berkembangnya praktek beragama yang intoleran dan radikal, maka Islam Nusantara menyajikan Islam yang santun, toleran dan ramah terhadap budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Kalau praktek beragama yang dicap radikal seringkali merespon budaya masyarakat dengan konfrontatif, sementara Islam Nusantara cenderung kooperatif dan permisif terhadap budaya di masyarakat, khususnya budaya yang sudah berakar kuat di masyarakat.
Media massa semakin membuat perkembangan Islam Nusantara semakin massif. Terlebih lagi, berbagai pemikiran disampaikan demikian bebas oleh para pendukung Islam Nusantara, guna membenarkan dan membesarkan gagasan Islam Nusantara.
Tentu saja masyarakat Islam Indonesia mengalami kegaduhan, pro dan kontra dalam merespon pemikiran yang dianggap paling cocok untuk kaum muslimin di Indonesia. Berikut ini ditunjukkan gagasan untuk menopang dan membenarkan Islam Nusantara.
Pertama, Islam dianalogikan dengan KFC. Dikatakan oleh penggagasnya, Prof. Nadirsyah Hosen bahwa Islam itu akidahnya sama sedunia, tapi aplikasi dan ekspresi keislaman itu ada muatan lokalnya. KFC itu jualan ayam goreng, tapi di Indonesia mereka juga jual nasi. Sementara di Australia dijual bersama kentang. Semuanya tetap bernama KFC. Kalau sudah paham ini maka nggak sulit untuk memahami Islam Nusantara.
Kedua, mengindonesiakan Islam bukan mengislamkan Indonesia. Dikatakan Prof. Mahfud MD bahwa tugas kita dalam berdakwah dan mensyiarkan Islam sebagai rahmatan lil alamin, yakni meng-Indonesiakan Islam dan bukan Mengislamkan Indonesia. Mengindonesiakan Islam artinya menyebarkan Islam secara damai melalui relung-relung budaya serta akulturasi melalui proses saling memberi dan menerima.
Sedangkan mengislamkan Indonesia lebih terkesan memaksakan sehingga berwatak eksklusivisme. Mengindonesiakan Islam berarti melahirkan inklusivisme dan toleransi yang dibarengi pluralisme seperti yang ditempuh Nabi Muhammad saat mendirikan negara Madinah.
Ketiga, Islam Nusantara sebagai Islam sejati, bukan Islam abal-abal model Timur Tengah. Yahya Tsaquf menyebut Islam yang datang ke Indonesia sebagai penjajah. Oleh karena itu, Islam Nusantara memberi harapan dan angin segara bagi iklim kehidupan beragama. Pemikiran ini mengundang kontroversial seiring dengan kepergian di dalam acara yang digagas oleh negara Israel.
Islam Nusantara: Mengedepankan Toleransi
Berkembangnya Islam Nusantara tidak dipungkiri sedang mengalami puncak perdebatan dan sedang di atas panggung. Namun hal itu tidak akan berlangsung lama. Karena banyak sisi kelemahan dan peluang untuk ditolak oleh kaum muslimin di Indonesia. Kecenderungan anti Arab dan mendeskreditkannya telah membuka pintu perlawanan bagi umat Islam yang sangat bangsa dengan bangsa Arab. Terlebih lagi kecintaan dan pengagungan umat Islam terhadap Makkah dan Madinah, sebagai jantung Arab, telah menjadi fakta yang menyejarah.
Sentimen anti Arab merupakan faktor penting yang akan memarginalikan Islam Nusantara. Terlebih lagi, Islam Nusantara sangat gigih dalam memperjuangkan pentingnya akulturasi budaya, tanpa pandang buluh dan seleksi yang protektif terhadap budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Sementara perkembangan dakwah Islam untuk memerangi budaya yang mengandung unsur syirik dan bertentangan dengan Islam juga sedemikian massif. Tumbuhnya spirit beragama masyarakat di berbagai pelosok desa, dan pinggiran wilayah demikian pesat. Bahkan menjamurnya pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan yang tumbuh dengan berbagai medianya yang begitu luas telah menjadi mercusuar bagi tumbuhnya Islam yang berbeda dengan gagasan Islam Nusantara.
Terlebih lagi ide dan gagasan yang dijual Islam Nusantara tidak lebih dari apa yang diperjuangkan oleh penggagas Islam Liberal terdahulu. Dengan kata lain Islam Nusantara adalah kelanjutan dari Islam Liberal yang terus mengalami kegagalan karena ditolah oleh masyarakat Islam Indonesia.
Ramah terhadap budaya lokal, moderat terhadap beragama, dan toleransi terhadap agama lain merupakan nilai-nilai yang terus dipasarkan ke masyarakat. Hal ini terus dipasarkan, seolah-olah umat Islam kurang dewasa dalam menghadapi perbedaan, khususnya dalam hal keberagaman.
Sejalan dengan kedewasaan dan kematangan umat Islam dalam mengenal kebenaran dan nilai-nilai Islam yang sudah demikian luas, menjadi Islam Nusantara ini akan mengalami peminggiran. Terlebih lagi media sosial dan media dakwah demikian merata dan bisa menembus berbagai wilayah dan kelas sosial, maka gagasan Islam Nusantara tidak akan berumur lama.
Masyarakat Islam Indonesia sudah mengetahui bahwa Islam yang murni telah melarang untuk melakukan pengagungan terhadap kuburan, memelihara tradisi ruwatan, sesajen, sedekah bumi dan sejenisnya karena bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ketika Islam Nusantara mencoba untuk toleran terhadap hal itu, masyarakat Islam akan otomatis menolaknya.
*Ditulis di Surabaya, 16 Juli 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net