JAKARTA (Suaramuslim.net) – Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menyatakan bahwa yang dibutuhkan Jakarta adalah pengurangan fungsi kota secara signifikan, secepatnya, karena beban pembangunan yang telah lama melampaui kapasitas dan daya tampung optimal kota tersebut.
“Menanggalkan status ibu kota dari Jakarta karena masalah yang menggelayutinya, adalah tidak bertanggungjawab,” kata Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam keterangan yang diterima Suaramuslim.net, Senin (14/02/22).
Yusuf menambahkan Jakarta yang kini giat berbenah menuju the inclusive public city, memiliki peluang besar untuk bertransformasi menjadi ‘Kota Dunia Untuk Semua’ jika terus mendapat dukungan yang memadai.
Ibu Kota Negara (IKN) secara resmi dicitakan menjadi kota berkelanjutan, penggerak ekonomi Indonesia masa depan dan simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa.
“Namun dengan visi tersebut, sebenarnya tidak ada urgensi memindahkan ibu kota dari Jakarta. Jakarta mendapatkan dukungan kuat sebagai ibu kota secara historis, spasial, ekonomi dan politik,” ujar Yusuf.
Dalam periode yang panjang, dari era orde lama, orde baru hingga orde reformasi, Jakarta dipenuhi monumental buildings yang merepresentasikan identitas dan persatuan bangsa, mulai dari Istana Negara, Monumen Nasional, Masjis Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah, Gelora Bung Karno dan lain sebagainya.
Selain itu Jakarta juga memiliki hub transportasi besar yaitu Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok.
“Kini, dalam sepuluh tahun terakhir, Jakarta dan sekitarnya disesaki oleh puluhan proyek strategis nasional mulai dari KA Ekspres Bandara, jalan tol, MRT dan LRT, tanggul laut, kereta cepat Jakarta-Bandung, hingga kampus Universitas Islam Internasional Indonesia di Depok,” ungkap Yusuf.
Menurut Yusuf memindahkan ibu kota tanpa rasionalitas yang kuat, hanya akan berakhir dengan kegagalan.
Dia mencontohkan pemindahan ibu kota Myanmar ke Naypyidaw pada 2005 yang secara resmi bertujuan untuk meningkatkan keamanan negara dengan lokasi ibu kota yang berada di tengah negara, dan juga mengkonstruksi identitas nasional baru yang lebih berbasis kesamaan etnis.
“Namun secara empiris, pemindahan ibu kota dari Rangoon sebenarnya lebih didasarkan atas ketidaksukaan rezim penguasa militer atas sejarah panjang tradisi pemberontakan ‘revolutionary nationalism’ yang melekat pada kota Rangoon. Kini, Naypyidaw menjadi kota sunyi meski dipenuhi gedung dan bangunan tinggi,” tutur Yusuf.
IDEAS merekomendasikan gagasan yang lebih realistis yaitu mempertahankan Jakarta sebagai Ibu Kota (capital city) dan memindahkan pusat pemerintahan (seat of government) ke kawasan khusus di sekitar Jakarta, sebagaimana Kualalumpur-Putrajaya di Malaysia dan Seoul-Sejong di Korea Selatan.
“Pemisahan fungsi pusat pemerintahan dan pusat ekonomi-bisnis dari Jakarta akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dan dinamika bisnis, menurunkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mempertahankan daya dukung alam terhadap pembangunan kota,” papar Yusuf.
Menurutnya memindahkan pusat pemerintahan harus dalam kerangka reformasi birokrasi yang komprehensif, sehingga langkah menyatukan lokasi Kementerian-Lembaga yang saat ini tersebar, akan mendorong kinerja birokrasi secara signifikan, sepadan dengan biaya pemindahan pusat pemerintahan yang IDEAS proyeksikan di kisaran Rp70-100 triliun.
“Dengan hanya memindahkan pusat pemerintahan, kebutuhan lahan akan menyusut, di kisaran 5 ribu hektar. Dengan demikian, pusat pemerintahan dapat berlokasi tidak jauh dari Jakarta. Hal ini akan menurunkan resistensi ASN untuk pindah,” beber Yusuf.
Kedekatan jarak ibu kota dan pusat pemerintahan mengizinkan 207 ribu ASN di instansi pemerintah pusat untuk memilih antara commuting atau menetap sehingga menjamin keberlanjutan dan kinerja pemerintah.
“Pada gilirannya, hal ini akan menjamin kinerja ekonomi Jakarta dan sekitarnya, yang menyumbang sekitar 25 persen dalam PDB nasional,” tutup Yusuf.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir