Jangan minta Hamas mengalah jika Israel masih menjajah

Suaramuslim.net – Tuntutan negara-negara Arab dan Eropa dalam Deklarasi New York agar pejuang Gaza melucuti senjatanya menjadi salah satu tuntutan paradoks di tengah genosida Gaza yang terus berlanjut.

Jika Hamas diminta menurunkan senjata, pertanyaannya: tuntutan apa yang pantas ditujukan kepada Israel—penjajah yang sejak Oktober 2023 telah membunuh lebih dari 60.100 warga Gaza?

Situasi ini mengingatkan kita pada kegagalan Perjanjian Oslo tahun 1993, ketika PLO bersedia menghentikan perlawanan bersenjata dan mengakui eksistensi Israel.

Sebagai imbalannya, Israel berjanji untuk menarik pasukannya secara bertahap dari wilayah pendudukan dan melakukan negosiasi lebih lanjut tentang isu-isu penting seperti permukiman ilegal, pengungsi Palestina, dan status negara Palestina.

Namun bagaimana kenyataannya? Janji-janji tersebut tidak pernah dipenuhi penjajah. Hingga Netanyahu berkuasa, Israel justru terus memperluas permukiman ilegal dan melanjutkan serangan terhadap rakyat Palestina.

Menurut organisasi Peace Now di Israel, jumlah pemukim Israel di wilayah pendudukan meningkat drastis; dari 250.000 pada 1993 menjadi lebih dari 700.000 pada 2025, dengan percepatan signifikan sejak 2023. Ini semakin memperkecil kemungkinan terwujudnya solusi dua negara, setidaknya dalam bentuk geografis yang layak dan berkelanjutan.

Dengan ketimpangan ini, deklarasi dua negara berisiko hanya menjadi pengulangan dari kegagalan yang sama: ilusi politik yang menenangkan opini publik Barat, tapi tak menyentuh akar penjajahan. Tanpa tekanan nyata seperti blokade militer, ekonomi, dan sanksi kepada Israel dan tanpa perlakuan adil terhadap hak-hak Palestina, deklarasi semacam ini hanya akan mengulang kegagalan-kegagalan serupa di masa lalu.

Kita juga tak boleh lupa, normalisasi yang dibanggakan lewat Abraham Accords, yang ditandatangani UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko tahun 2020, tak pernah membawa stabilitas atau perdamaian yang dijanjikan.

Justru, satu tahun setelahnya, dunia menyaksikan serangan brutal Israel ke Masjid Al Aqsha, hingga genosida besar-besaran pada Oktober 2023. Apa yang dilakukan Hamas dan faksi-faksi perlawanan Gaza hari ini adalah konsekuensi langsung dari semakin jauhnya jalan pembebasan dunia internasional terhadap bangsa Palestina.

Pengakuan negara-negara internasional terhadap Palestina memang patut diapresiasi, tetapi ini baru langkah simbolik. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: sejauh mana dunia Arab dan komunitas internasional siap mengubah deklarasi itu menjadi strategi nyata untuk melumpuhkan agresi Israel? Atau apakah pengakuan ini hanya bentuk kompromi politik untuk meredam tekanan rakyat sipil global?

Jika pengakuan ini tidak disertai tindakan strategis, maka ia hanya akan menjadi upacara simbolis yang acap kali digelar komunitas internasional: pengakuan tanpa pembebasan, diplomasi tanpa melindungi, dan penjajahan yang terus berjalan. Tentu pelucutan senjata bukanlah masalah besar bagi faksi-faksi perlawanan Palestina. Mereka akan dengan sendirinya melucuti senjata, jika penjajahan benar-benar hilang dari tanah Baitul Maqdis.

Kini dunia harus memilih: terus bermain dalam diplomasi di atas kertas atau bertindak tegas melawan pendudukan. Sebab jika genosida masih terus eksis dan merajalela, jangan salahkan bangsa Palestina untuk terus melawan.

Pizaro Gozali Idrus
Dosen Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia

Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.