Suaramuslim.net – Jong Islamieten Bond (JIB) fenomena tak tergantikan. Minimal sulit menyamainya, sebab zaman sudah berbeda. Adalah Natsir, Kasman, Jusuf dan Roem, kuartet motor penggerak JIB di tengah perubahan zaman.
Ketika Jepang akan tiba di negeri khatulistiwa, Belanda takut tiada tara. Pegiat JIB berbagi cara menyiasati era yang berubah.
Mohammad Natsir siswa AMS angkatan 1927 di Bandung. Ia adik kelas Sjahrir. Natsir seangkatan Mohammad Roem di AMS Bandung. Walau berbeda etnis, keduanya dipersatukan gairah ”Need for Achievement” (NAc) berkompetisi menghadapi anak-anak Belanda atau peranakan Belanda yang selalu merasa superior di hadapan pribumi.
Jika Sjahrir sibuk dengan klub debat ”Patriae Scientifiqiae” (Ibu Pertiwi dan Pengetahuan), maka Natsir bersama Roem aktif di Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. JIB Bandung ini unik, ketika pertama kali dibentuk 1926, justru langsung diketuai mojang priangan asli Bandung, Emma Poeradiredja.
Emma tidak berhijab. Ia lahir besar dari keluarga bangsawan Sunda (menak). Semula, Emma aktif di Jong Java, namun ia merasa Jong Java kurang pas karena menonjolkan etnisitas Jawa. Begitu JIB terbentuk di Bandung, Emma pindah ke JIB lalu didaulat sebagai ketua.
JIB sendiri dibentuk di Batavia oleh Samsurijal pada 1 Maret 1925, lalu bersama Haji Agus Salim, Samsurijal membentuk cabang JIB di Bandung pada 1926. Banyak anggota Jong Java yang menyeberang ke JIB. Para anggota JIB terbiasa memakai bahasa Belanda dalam bercakap-cakap. Itulah bahasa sehari-hari mereka. Mereka tak terbiasa memakai bahasa Indonesia.
George McT Kahin Indonesianis AS, sohib karib Natsir, menulis obituari dalam jurnal Indonesia pada tahun 1993, bahwa Natsir baru masuk JIB pada 1929. Artinya, dua tahun setelah bersekolah di AMS Bandung. Sebelumnya, Natsir sudah aktif di Persatuan Islam (Persis) Bandung.
Natsir sangat terkesan pada sosok Dr. Van Bessem, kepala sekolah AMS Bandung. Dari Van Bessem inilah Natsir belajar bahasa Latin, Yunani, Prancis, Jerman dan Inggris. Gemblengan AMS Bandung menjadikan Natsir sangat menguasai bahasa Latin, selain bahasa Belanda dan Inggris.
Setiap kali bertemu Roem, Jusuf Wibisono (seangkatan dengan Sjafruddin di AMS) dan Sjahrir, mereka selalu ngobrol dalam bahasa Belanda. Di tangan Natsir, JIB Bandung berkembang pesat, apalagi JIB sering menggelar acara diskusi dalam bahasa Belanda di dalam satu ruang sekolah AMS.
Van Bessem memperbolehkan pemakaian ruangan itu, karena Van Bessem berwatak terbuka. Ia sumringah melihat anak-anak didiknya piawai mengolah kata, berdebat serta doyan baca. Seluruh buku milik Van Bessem dibaca tuntas para aktivis JIB. Mereka sudah menjelajah dunia literasi saat masih belia, bahkan para aktivis JIB sangat tahu apa isi Das Kapital, dll.
Tahun 1929, Sjahrir lulus AMS, ia diterima di fakultas hukum Amsterdam Universiteit. Sedangkan Natsir lulus AMS pada 1930, ia sebenarnya sudah memperoleh dua beasiswa, yaitu ke Leiden untuk belajar hukum dan ke Rotterdam untuk belajar ekonomi. Namun, Natsir memilih ke sekolah guru (Kweekschool) agar ia punya dasar untuk mengembangkan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) yang sudah dirintisnya.
Kelak, pada Januari 1946, Natsir dan Sukiman bertemu Tan Malaka dan Jenderal Soedirman di Solo untuk membentuk ”Persatoean Perjoeangan” menghadapi kabinet I Sjahrir.