SURABAYA (Suaramuslim.net) – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan 29 November sebagai Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina.
Peringatan setiap tahun ini merujuk pada keputusan Sidang Majelis Umum PBB yang mengesahkan Resolusi Nomor 181 Tahun 1947 yang membagi dua wilayah Palestina, satu Arab Palestina dan yang lainnya Yahudi (Israel).
Resolusi itulah yang dianggap oleh komunitas Yahudi di Palestina sebagai dasar hukum pendirian Israel. Namun, masalah antara Palestina dan Israel tak kunjung terselesaikan sampai saat ini.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Al-Azhar Indonesia, Pizaro Gozali dalam talkshow Ranah Publik Senin (29/11/21) menjelaskan resolusi itu tujuannya untuk memberikan akses kedua belah pihak. Padahal Palestina itu merupakan bangsa yang telah mendiami wilayah tersebut sejak lama.
“Kemudian diinvasi oleh bangsa Yahudi yang didukung oleh Inggris dan negara lainnya. Lalu terjadilah tragedi nakbah yaitu pengusiran rakyat Palestina, penggusuran, dan perampasan paksa oleh bangsa Yahudi yang masih terus terjadi sampai hari ini dan terus meningkat,” jelasnya.
“PBB gagal, dan OKI hanya bisa mengecam dan Palestina semakin sendiri. Negara-negara di sekitar Palestina justru melakukan normalisasi dengan negara penjajah Israel, mereka lakukan hubungan ekonomi di atas penderitaan rakyat Palestina,” paparnya.
Jurnalis Anadolu Agency ini menjelaskan konsep PBB memang sudah problematik sejak awal karena Israel dapat membaca sejak awal langkah-langkah negara OKI yang sekadar berkumpul, sidang luar biasa, menghasilkan resolusi dan adanya kecaman.
Peringatan Hari Solidaritas Internasional ini hanya sebagai simbolitas yang bertujuan untuk mengingatkan kepada semua negara bahwa masalah Palestina belum usai. PBB masih memiliki kewajiban untuk menjalankan resolusi untuk menjamin hak-hak bangsa Palestina.
Peran media dalam isu kemerdekaan Palestina
Pizaro menyebut, secara umum jurnalis-jurnalis di Indonesia masih punya spirit anti penjajahan.
UU negara kita secara tegas melarang adanya penjajahan di muka bumi. Akan tetapi masih ada beberapa bias yang ditulis oleh media-media di tanah air tentang isu Palestina.
“Misalnya, menyebut penjajahan Israel di Palestina sebagai konflik, menyebut serangan yang dilakukan bangsa Israel kepada Palestina sebagai ketegangan bukan invasi,” kata Ketua Palestine Media Forum cabang Indonesia ini.
Umumnya, lanjut Pizaro, media di tanah air tidak memiliki pemahaman secara mendalam soal masalah Palestina, mereka mengutip dari media-media Barat yang memang banyak berat sebelah dalam menulis isu Palestina.
Jurnalisme yang berprasangka seperti ini ambigu, dapat membuat kesalahpahaman di antara masyarakat dan menggiring opini yang tidak benar mengenai isu Palestina.
Menurutnya, jurnalisme punya peran untuk mengembalikan opini masyarakat tentang penjajahan di Palestina, perlu ada workshop atau pertemuan khusus bagi para jurnalis mendalami lebih jauh mengenai isu ini. Tujuannya agar para jurnalis di tanah air memiliki satu pandangan yang sama tentang isu Palestina.
“Penting sekali media-media mengutip sumber yang benar agar tidak bias dalam menggunakan diksi,” ujarnya.