Suaramuslim.net – Kekalahan duet Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019 yang didukung Ijtima Ulama adalah potret terakhir kegagalan dakwah Islam melawan dakwah sekulerisasi secara terstruktur, sistemik dan masif melalui sistem persekolahan selama 50 tahun terakhir.
Sekolah, yang bersama televisi membentuk institutional duo, sebagai instrumen teknokratik meminggirkan masyarakat agraris menuju masyarakat industri secara lambat tapi pasti tidak saja menggusur masjid sebagai jantung umat Islam, tapi juga sekaligus keluarga sebagai satuan tarbiyah yang terkecil dari umat.
Saat ini musuh-musuh Islam menyemburkan narasi islamophobic melalui internet/media sosial. Dalam operasi firehose of falsehood inilah, umat Islam mengalami brainwashing untuk meragukan Islam, menjauhinya, kemudian meninggalkannya.
Ini adalah bagian dari operasi Barat di bawah komando AS global war on terror yang dalam praktiknya diwujudkan dalam global war on muslims. Pada saat perang dagang antara AS vs Tiongkok yang makin sengit saat ini, keduanya justru tampak bersinergi melawan Islam di Indonesia.
Banyak pengamat luput menyadari bahwa sistem persekolahan adalah instrumen dakwah penjajahan yang paling halus sekaligus canggih yang mewarnai sejarah nekolimik yang dikhawatirkan Bung Karno sejak Proklamasi.
Kita gagal menyediakan prasyarat budaya untuk mewujudkan bangsa yang merdeka. Jika Ki Hadjar Dewantoro merumuskan pendidikan sebagai strategi budaya membangun jiwa merdeka, persekolahan telah mereduksi pendidikan menjadi sekadar penyiapan tenaga kerja terampil untuk dipekerjakan bagi kepentingan investor, terutama investor asing. Persekolahan tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selama 50 tahun terakhir, pemerintah tidak pernah menghendaki masyarakat yang mandiri dan kritis. Yang dibutuhkan adalah masyarakat yang cukup cerdas untuk menjadi tenaga kerja yang patuh dan berdisiplin serta cukup dungu untuk menerima penjajahan nekolimik ini.
Sekolah mengubah belajar sebagai proses produktif yang tidak memerlukan formalisme birokratik, menjadi layanan pendidikan yang konsumtif berupa persekolahan.
Budaya utang disemaikan melalui persekolahan yang mengaburkan kebutuhan belajar ( needs for learning ) dengan keinginan bersekolah ( wants for schooling). Masyarakat lalu gagal membedakan mana bungkus mana isi, mana ijazah mana kompetensi, mana bersekolah mana belajar.
Menatap masa depan RI yang penuh tantangan, saya harus katakan bahwa untuk membangun bangsa merdeka, umat Islam harus segera berani melakukan deschooling: mengurangi dominasi persekolahan dalam Sistem Pendidikan Nasional kita, menguatkan keluarga sebagai satuan pendidikan yang sah serta menguatkan masjid sebagai community learning and cultural centre.
Kesadaran berwarganegara, adab dan akhlak dibentuk oleh keluarga dan masjid.
Pesantren bisa dibangun di sekeliling masjid-masjid. Sekolah setingkat SMA mungkin masih dibutuhkan, namun hanya bersifat melengkapi kecakapan teknis untuk terampil bekerja.
Kampus yang tradisinya tidak pernah menyaratkan persekolahan dapat memberikan pendidikan bagi para sarjana.
Perlu dipikirkan pendirian sebuah Islamic College of Communication yang melahirkan para pemimpin media Islam. Dalam rangka menguatkan tradisi lisan dan mendengar umat, eksplorasi revitalisasi radio sebagai media dakwah perlu diteliti dan dikaji.
Tugas jurnalis muslim ke depan ini tidak saja membangun counter discourse atas wacana islamophobic yang disemburkan melalui berbagai kanal informasi, tapi juga memperkokoh ukhuwah islamiyah dan sekaligus memberi kabar gembira bagi umat Islam atas berbagai quick wins yang dicapainya dalam long term road map kebangkitan umat 2020-2045.*
Daniel Mohammad Rosyid
Direktur Rosyid College of Maritim and Arts
Cigadung, Bandung Utara, 5/7/2019
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net