Suaramuslim.net – Beberapa tahun lalu, sebuah insiden di kawasan industri menewaskan belasan pekerja akibat ledakan mesin. Investigasi menemukan penyebabnya sederhana: kelalaian prosedur keselamatan. Tragisnya, perusahaan itu memiliki sertifikat K3 yang lengkap. Kasus ini menimbulkan pertanyaan getir: apakah sertifikat itu benar-benar hasil uji kompetensi, atau sekadar formalitas di atas kertas?
Pertanyaan semacam itu kini kembali relevan lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan terkait dugaan suap sertifikasi K3. Peristiwa ini bukan sekadar kasus hukum, melainkan alarm bagi dunia industri kita. Jika instrumen keselamatan kerja bisa diperdagangkan, nyawa buruh dan tenaga teknis sedang dipertaruhkan, dan reputasi industri nasional ikut terancam.
Dalam teori manajemen sumber daya manusia, K3 adalah salah satu pilar utama keberlanjutan tenaga kerja. K3 bukan formalitas administratif, melainkan instrumen strategis untuk melindungi human capital, modal manusia, yang menjadi inti produktivitas industri.
Gary Becker, peraih Nobel Ekonomi, menegaskan bahwa investasi pada manusia sama pentingnya dengan investasi pada mesin atau modal fisik. Dengan kata lain, ketika sertifikasi K3 dilemahkan, sama saja kita merusak modal terpenting pembangunan: manusia itu sendiri.
K3 sebagai pilar daya saing
Dalam literatur industri, K3 sering dipandang sebagai bagian dari risk management. Negara atau perusahaan yang lemah dalam K3 akan menghadapi risiko tinggi: kecelakaan kerja, kerugian finansial, bahkan reputasi buruk di mata investor global.
Laporan International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa setiap tahun, jutaan pekerja di dunia mengalami kecelakaan kerja yang merugikan miliaran dolar bagi ekonomi global.
Indonesia tidak boleh terjebak dalam kondisi serupa. Jika sertifikasi K3 dipalsukan atau diperdagangkan, pekerja yang seharusnya kompeten dan aman di lapangan justru bekerja tanpa standar keselamatan. Inilah “bom waktu industri” yang sewaktu-waktu bisa meledak. Sekali terjadi kecelakaan massal, bukan hanya pekerja yang menjadi korban, tetapi juga kepercayaan investor, reputasi industri, dan stabilitas ekonomi nasional.
Masalah sistemik SDM
Korupsi sertifikasi K3 adalah cerminan dari penyakit sistemik dalam manajemen SDM. Banyak perusahaan masih memandang K3 sebagai beban administratif, sekadar syarat memenuhi regulasi, tanpa menanamkan budaya keselamatan kerja yang sebenarnya. Padahal, teori psychological safety dari Amy Edmondson menegaskan, pekerja yang merasa aman secara fisik dan psikologis akan lebih produktif, kreatif, dan loyal.
Jika keselamatan kerja dikompromikan karena sertifikasi abal-abal, perusahaan sedang menabur bibit ketidakpercayaan dan ketidakstabilan organisasi.
OTT Wamenaker seharusnya menjadi momentum untuk mengakui bahwa masalah bukan semata oknum, melainkan sistem. Transparansi sertifikasi lemah, akuntabilitas pengawasan rendah, dan budaya K3 belum benar-benar tertanam. Inilah tantangan besar bangsa kita.
Ujian daya saing industri
Korupsi atau lemahnya standar K3 tidak bisa dilihat sebagai kasus sektoral. Ia adalah ujian bagi daya saing industri kita di kancah global. Di era perdagangan bebas dan rantai pasok internasional, standar keselamatan kerja menjadi syarat mutlak. Investor akan ragu menanam modal di negara yang instrumen K3-nya tidak kredibel.
Bayangkan jika pabrik manufaktur besar di Indonesia mengalami kecelakaan fatal akibat lemahnya standar keselamatan. Dampaknya bukan hanya pada pekerja dan perusahaan, tetapi juga citra Indonesia sebagai tujuan investasi. Sekali reputasi itu tercoreng, biaya memperbaikinya akan jauh lebih mahal dibanding investasi membangun sistem K3 yang transparan sejak awal.
Rekomendasi untuk Indonesia
Pertama, pemerintah harus membangun sistem sertifikasi K3 berbasis digital dengan jejak audit yang transparan. Setiap proses harus bisa ditelusuri publik, sehingga ruang bagi transaksi gelap tertutup rapat.
Kedua, sertifikasi K3 tidak boleh sekadar birokrasi. Kolaborasi dengan perguruan tinggi, serikat pekerja, asosiasi profesi, dan industri diperlukan untuk menjaga integritas sertifikasi.
Ketiga, perusahaan harus menjadikan K3 sebagai nilai inti korporasi, bukan sekadar kewajiban hukum. Budaya K3 perlu ditanamkan dalam strategi manajemen, sama pentingnya dengan target keuntungan. Audit keselamatan harus dilakukan secara berkala, bukan hanya saat ada inspeksi pemerintah.
Keempat, pekerja harus diberdayakan sebagai pengawas keselamatan. Jika ada pelanggaran, mereka perlu ruang melapor tanpa takut mendapat tekanan. Ini bagian dari membangun psychological safety yang sesungguhnya.
Kelima, Indonesia perlu membangun pusat riset dan inovasi K3. Banyak kecelakaan kerja bisa dicegah dengan teknologi: sensor digital, alat pelindung pintar, hingga sistem monitoring real-time yang bisa diadaptasi di berbagai industri.
Menjaga keadilan dan amanah
Dalam tradisi Islam, amanah adalah nilai fundamental. Al-Ghazali menegaskan bahwa keadilan dan amanah adalah fondasi tegaknya masyarakat. Jika keselamatan pekerja dijadikan bahan transaksi, kita mengkhianati amanah paling dasar: menjaga nyawa manusia.
K3 adalah fondasi industri. Jika dilemahkan, ia berubah menjadi ancaman bagi pekerja, perusahaan, dan daya saing nasional. Kasus ini harus membuka mata kita: keberanian menempatkan nyawa manusia di atas segalanya adalah ukuran sejati daya saing industri Indonesia. Tanpa K3 yang kredibel, industri kita hanyalah raksasa di atas pasir.
Heri Cahyo Bagus Setiawan
Dosen Pengajar MSDM di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya