Suaramuslim.net – Zaadit Taqwa, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) menjadi man of the week di awal Februari ini. Aksi yang dilakukannya di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika Dies Natalis UI ke-68 Jumat (2/2) lalu, menjadi pemberitaan dan pemantik diskusi di berbagai media dan platform media sosial. Bahkan ini menjadi artikel berita paling banyak dibaca di laman Suaramuslim.net akhir pekan lalu.
Zaadit menilai kinerja Presiden Jokowi perlu dievaluasi. “Gizi buruk di Asmat, dwifungsi Polri/TNI dan peraturan baru organisasi mahasiswa di penutup 2017 dan awal 2018 menjadi evaluasi untuk Presiden Jokowi agar lebih baik di tahun keempatnya,” demikian siaran pers dari BEM UI.
Sehari setelahnya, Presiden Jokowi merespon dengan pernyataan akan mengirim pengurus BEM UI ke Asmat, Papua. Supaya melihat bagaimana medan yang ada di sana kemudian masalah-masalah besar yang dihadapi di daerah-daerah, terutama Papua.
“Ya, yang namanya aktivis muda, ya. Namanya mahasiswa dinamika seperti itu biasalah, saya kira ada yang mengingatkan itu bagus sekali,” ucap Presiden.
Kebebasan menyampaikan pendapat merupakan hal yang wajar di alam demokrasi seperti di negara kita tercinta, ada pasal yang mengaturnya, termasuk bagaimana merespon kritikan dan evaluasi. Bahkan kalau berkaca pada sejarah pemerintahan dalam literatur Islam. Hal ini sudah dicontohkan oleh salah satu pemimpin terbaik umat Islam, Abu Bakar ash-shiddiq yang menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin umat. Ayahanda Aisyah radhiyallahu ‘anha ini dengan jujur meminta agar ada yang mengoreksi kebijakannya jika ia berbuat menyimpang.
Ibnu Hisyam mengabadikan pidato Abu Bakar yang bersejarah dalam kitabnya As-Sirah An-Nabawiyah jilid 4 sebagai berikut.
“Amma ba’du, wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian meski aku bukan yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, dukunglah saya. Sebaliknya jika aku berbuat salah, luruskanlah saya.
Kejujuran itu merupakan amanah, sedangkan dusta itu merupakan pengkhianatan. Kaum yang lemah menempati posisi yang kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan padanya haknya dengan izin Allah.
Sedangkan, kaum yang kuat menempati posisi yang lemah di sisiku hingga aku dapat mengambil darinya hak orang lain dengan izin Allah.
Jika suatu kaum meninggalkan perkara jihad di jalan Allah, mereka akan ditimpakan kehinaan oleh Allah.
Jika kemaksiatan telah meluas di tengah-tengah suatu kaum, Allah akan menimpakan bala’ kepada mereka secara menyeluruh.
Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib taat kepadaku. Bangunlah untuk melaksanakan shalat, semoga Allah merahmati kalian.”
Nah, sekarang mari kita kembali pada poin penilaian yang disampaikan BEM UI kepada Presiden Jokowi, khususnya kasus Kejadian Luar Biasa gizi buruk di kabupaten Asmat Papua.
Berdasarkan data Kemenkes, 646 anak terkena wabah campak dan 144 anak menderita gizi buruk di Asmat. Selain itu, ditemukan pula 25 anak suspect campak serta empat anak terkena campak dan gizi buruk.
Zaadit dan BEM UI mempertanyakan mengapa gizi buruk masih terus terjadi meski Papua memiliki dana otonomi khusus yang besar. Pada 2017, dana otonomi khusus untuk Papua mencapai Rp 11,67 triliun, yaitu Rp 8,2 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp 3,47 triliun untuk Provinsi Papua Barat.
Melihat kondisi gizi buruk yang tidak sebanding dengan dana otonomi khusus untuk Papua di pulau kaya raya penghasil emas, pantaskah jika kemudian hanya BEM UI dan Zaadit yang mempertanyakannya? Tentu kita berharap kartu kuning ini menjadi perhatian serius pemerintah dan presiden, agar tidak menjadi kartu merah di kemudian hari.
Muhammad Nashir
Dewan Redaksi Suara Muslim
Surabaya, 05 Februari 2018