Suaramuslim.net – Nabi dan rasul memiliki kasih sayang yang besar pada umatnya. Mereka sabar dalam menghadapi perlawanan dan pembangkangan kaumnya. Alih-alih mendoakan kejelekan, mereka justru mendoakan umatnya dan menginginkan kembali ke jalan yang benar.
Betapa tidak, ketika datang cemoohan dan umpatan, mereka mampu menahan amarah dan tetap sabar.
Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim bisa dijadikan sebagai contoh. Nabi Ibrahim ketika kedatangan malaikat yang diutus untuk menghukum pelaku homoseksual kaum Nabi Luth, mencoba membujuknya. Nabi Ibrahim membujuk agar menunda atau membebaskan dari azab Allah.
Apa yang dilakukan Nabi Isa juga demikian. Beliau rela memintakan ampun kepada Allah atas permintaan kaumnya yang tak wajar. Kaumnya tidak tahu diri dengan meminta didatangkan makanan dari langit.
Demikian juga apa yang dilakukan Nabi Muhammad ketika ditawari malaikat untuk menghancurkan penduduk Tha’if yang telah menolak dakwah, dan menyakiti beliau. Alih-alih menyambut gembira tawaran itu, Nabi Muhammad justru menolak dan mendoakan kebaikan bagi penduduk Tha’if.
Nabi dan kelembutan hati
Para nabi dan rasul merupakan sosok manusia yang memiliki kelembutan hati dan jiwa penyantun. Hal ini ditunjukkan dengan sikap Nabi Ibrahim yang santun dan penuh kasih sayang. Santun karena menghormati dan melayani tamu yang datang kepadanya. Ketika malaikat datang, beliau menjamu tamunya dengan hidangan yang istimewa.
وَلَقَدْ جَآءَتْ رُسُلُنَاۤ اِبْرٰهِيْمَ بِا لْبُشْرٰى قَا لُوْا سَلٰمًا ۗ قَا لَ سَلٰمٌ فَمَا لَبِثَ اَنْ جَآءَ بِعِجْلٍ حَنِيْذٍ
“Dan para utusan Kami (para malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, “Selamat.” Dia (Ibrahim) menjawab, “Selamat (atas kamu).” Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.” (Hud: 69).
Kasih sayang juga beliau tunjukkan ketika meminta malaikat yang akan mengazab kaum Nabi Luth yang menyimpang. Tapi Nabi Ibrahim menginginkan agar malaikat menunda atau memaafkannya. Padahal kaum itu melakukan penyimpangan yang tidak bisa ditoleransi.
Ketika datang malaikat untuk melaksanakan perintah Allah untuk menghukum kaum yang melampaui batas, Nabi Ibrahim berusaha mencegahnya.
فَلَمَّا ذَهَبَ عَنْ اِبْرٰهِيْمَ الرَّوْعُ وَجَآءَتْهُ الْبُشْرٰى يُجَا دِلُــنَا فِيْ قَوْمِ لُوْطٍ
“Maka ketika rasa takut hilang dari Ibrahim dan kabar gembira telah datang kepadanya, dia pun bersoal jawab dengan (para malaikat) Kami tentang kaum Luth.” (Hud: 74).
Hal ini menunjukkan jiwa penyantun Nabi Ibrahim dan menginginkan kaum saudaranya diampuni atau dibebaskan dari azab.
Nabi Ibrahim bukan menolak ketentuan Allah, tetapi sebagai seorang nabi penyantun, beliau ingin membebaskan manusia dari bencana. Sedemikian cinta pada kaumnya, Nabi Ibrahim hingga meminta kepada malaikat untuk menunda atau menghentikan tugas yang telah diemban dari Allah.
يٰۤـاِبْرٰهِيْمُ اَعْرِضْ عَنْ هٰذَا ۚ اِنَّهٗ قَدْ جَآءَ اَمْرُ رَبِّكَ ۚ وَاِ نَّهُمْ اٰتِيْهِمْ عَذَا بٌ غَيْرُ مَرْدُوْدٍ
“Wahai Ibrahim! Tinggalkanlah (perbincangan) ini, sungguh, ketetapan Tuhanmu telah datang, dan mereka itu akan ditimpa azab yang tidak dapat ditolak.” (Hud: 76).
Malaikat berusaha untuk meyakinkan bahwa ketetapan Allah sudah final, dan para pembangkang sudah tidak bisa dimaafkan. Alih-alih menundanya, malaikat justru bersikeras menghukumnya tanpa menundanya lagi. Penyimpangan yang sudah melampaui batas tidak bisa ditunda.
Nabi Isa dan suguhan dari langit
Kalau nabi dan rasul yang melakukan eksekusi, bisa jadi akan ada upaya-upaya tertentu agar azab ditunda, sembari mengajak umatnya untuk kembali ke jalan yang benar.
Sebagai manusia yang lembut, mereka memiliki rasa belas kasihan dan empati sehingga mau memohonkan ampun atas kesalahan kaumnya. Hal ini terjadi pada kasus Nabi Isa yang meminta Allah untuk memaafkan kaumnya yang salah.
اِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَاِ نَّهُمْ عِبَا دُكَ ۚ وَاِ نْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَاِ نَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Al-Maidah: 118).
Kaum Nabi Isa meminta hidangan yang diturunkan dari langit guna meyakinkan hati mereka. Mengetahui permintaan itu Allah pun mengancam akan menurunkan azab bila terkabulnya permintaan itu tidak mendekatkan kepada Allah.
Hal ini berbeda ketika malaikat mendapat mandat untuk mengeksusi perintah Allah. Ketika Allah memerintahkan malaikat untuk menghukum terhadap para penentang para nabi dan rasul, maka malaikat akan teguh melaksanakan tanpa menundanya.
Dua sikap penyantun dan kelembutan hati Nabi Ibrahim dan Nabi Isa juga tergambar pada Nabi Muhammad.
Hal itu terjadi ketika Nabi Muhammad ditawari malaikat untuk melampiaskan kesedihannya pada kaum Tha’if. Saat itu Nabi Muhammad berdakwah dengan gigih di kota Tha’if. Alih-alih mendapat sambutan hangat, Nabi Muhammad justru mendapat penistaan dan lembaran batu.
Melihat perlakuan yang tak wajar ini, maka Allah mengutus malaikat untuk memberi izin untuk menghukum penduduk Tha’if. Alih-alih mengabulkan permintaan itu, Nabi Muhammad justru menolaknya, dan mendoakan kebaikan bagi penduduk Tha’if, serta berharap akan muncul generasi baru dari penduduk Tha’if yang akan membela Islam di masa yang akan datang.
Ini menunjukkan kebersihan dan kelembutan hati manusia pilihan Allah.