Suaramuslim.net – Sejumlah kasus korupsi yang terjadi, kerap menyeret politisi baik di pusat atau pun daerah, erat kaitannya dengan biaya politik yang sangat tinggi. Politik uang dalam pemilu legislatif atau pun pemilihan kepala daerah (pilkada), mendorong pejabat tersebut menempuh cara-cara korupsi untuk mengembalikan ongkos politik yang dikeluarkannya pada saat menjabat.
Kasus OTT Ketum PPP Muhammad Romahurmuzy menambah deretan ketua parpol yang tersandung korupsi. Kita masih menunggu bagaimana akhir dari nasib Romahurmuzy ini. Namun, peristiwa ini harusnya membuat elit dan negara berbenah. Apakah ini menegaskan perlunya pergantian sistem politik agar tidak berbiaya tinggi? Atau kurangnya teladan dari elite tentang pentingnya kesabaran dan kesederhanaan hidup agar tidak tergiur melakukan korupsi?
Korupsi dan Politik Biaya Tinggi
Dosen Pasca Sarjana Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya, Dr. Hufron, S.H., M.H dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm melalui sambungan telepon (20/03) mengatakan, mengenai fenomena semakin banyaknya kepala daerah dan para petinggi partai yang terjerat korupsi. Ia mengkritik sistem yang membuat ongkos politik di Indonesia menjadi tinggi. Politik berbiaya tinggi berkonsekuensi logis bagaimana roda partai harus jalan.
“Mesin politik membutuhkan biaya tinggi sementara anggaran dari negara tidak terlampau besar, bahkan iuran dari anggota partai tidak mencukupi. Maka pejabat parpol mencari cara bagaimana mendapatkan biaya-biaya yang tidak resmi yang disebut uang riba,” ungkapnya.
Menurut Hufron, sistem politik saat ini seperti arus besar yang bisa menggelincirkan siapa pun baik kaum muda dan tua. Persoalan pilkada semestinya tidak dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 itu berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”.
“Mereka sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis yaitu tidak menunjuk apakah langsung oleh rakyat atau DPRD, artinya setiap orang boleh mengajukan sebagai calon pejabat melalui proses seleksi yang tidak diskriminatif. Konstitusi sudah memberikan pesan moral, kepala daerah yang dipilih hanya gubernur dan walikota tidak harus melalui pemilihan langsung,” ucapnya.
Selain itu, Hufron menilai, persoalan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen itu membatasi calon pilihan presiden tidak bisa banyak. Sehingga masyarakat menjadi terbelah menjadi 2 kubu dari elit hingga masyarakat alit.
“Itu menurut saya sebuah oligarki gaya baru yang jika terus dipertahankan akan menyebabkan otoritarianisme untuk mempertahankan kekuasaan, ambang batas itulah menjadi penyebab partai-partai harus berkelompok membuat koalisi. Oleh karena itu harus ditinjau ulang, bahwa angka 20 persen hanya akal-akalan partai besar,” paparnya.
Hufron menjelaskan, apabila ternyata biaya yang dibutuhkan untuk pencalonan itu jauh lebih tinggi ketimbang potensi penghasilan yang akan diperoleh. Maka mendorong pejabat parpol menempuh cara-cara korupsi salah satunya menjual pengaruh untuk kepentingan partai.
“Padahal aturannya, seorang pejabat dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya. Bentuk gratifikasi lainnya ialah pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya,” pungkasnya.
Subsidi Dana Parpol bukan Solusi
Sementara itu Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul Wicaksana P., SH., M.H dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (20/03) menjelaskan, budaya permisif terhadap praktik korupsi sudah menjangkiti masyarakat di berbagai level. Oligarki politik yang meniscayakan seseorang untuk meraih kekuasaan dengan cara apa pun agar bisa meraih suara elektoral tertinggi menjadi faktor potensi korup para elite politik.
“Politik kartel saat ini bisa jadi bukan hanya menjangkiti jual beli jabatan pada Kementerian Agama, tetapi kementerian lain akan berpotensi sama. Karena itu menjadi bahan bakar untuk berkontestasi politik,” paparnya.
Menurut Satria, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, memiliki celah. UU itu belum mengakomodasi ketentuan perihal memperdagangkan pengaruh atau trading of influence.
Padahal, lanjutnya, ketentuan mengenai memperdagangkan pengaruh tercantum dalam Pasal 18 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Indonesia pun telah meratifikasinya. Kondisi ini membuat vonis hakim terhadap para pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi melalui modus memperdagangkan pengaruh, menjadi tidak sesuai alias lemah.
“Misalnya, terjeratnya Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuzy diduga menggunakan pengaruh kekuasaan di partai untuk mendapatkan sesuatu di Kementerian Agama seperti promosi jabatan,” ungkapnya.
Satria menilai, kondisi ini membuat vonis hakim terhadap para pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi melalui modus memperdagangkan pengaruh, menjadi tidak sesuai alias lemah.
“Tetapi ini bisa dilihat dari bagaimana pelaporan partai politik atau caleg-caleg yang sedang berkontestasi bisa jadi ada dukungan bahan bakar yang diberikan pihak tertentu dengan tujuan ia mempunyai kekuasaan. Ketika mempunyai kekuasaan maka akan dibuka selebar-lebarnya untuk kepentingan mereka,” papar Satria.
Satria menjelaskan, sistem saat ini sangat mungkin ada pendonor memberikan dana yang tidak berseri kepada aktor politik yang didukung dalam kontestasi pileg atau pilpres. Hal ini memberikan dampak yang luar biasa. Misalnya di beberapa wilayah dalam konsensi perizinan di sektor tambang. Mereka sebagai pendonor dana lebih baik mendanai beberapa calon untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.
“Jadi sangat perlu dalam UU mengakomodasi ketentuan perihal memperdagangkan pengaruh atau trading of influence,” jelasnya.
Satria menilai, untuk kontestasi politik maka diperlukan biaya yang tidak berseri, sehingga penambahan anggaran dari negara untuk memberi subsidi bagi partai politik bukan solusi yang solutif. Dikarenakan tanpa mekanisme pengawasan, akuntabilitas, budaya korup yang masih menjangkiti para elit parpol, dana dari negara akan sia-sia.
“Misalnya di beberapa daerah di Jawa Timur untuk kontestasi pemilihan satu kursi calon kepala desa. Para calon ini bisa mengeluarkan Rp200-300 ribu per kepala untuk mempromosikan dirinya. Ini fenomena yang luar biasa, baru sekelas pemilihan tingkat desa,” tandasnya.
Menurut satria, Indonesia saat ini krisis identitas dan teladan dari aktor politik dan penegak hukum yang menegakkan nilai-nilai anti korupsi sebagai karakter.
“Padahal Islam mengajarkan itu semua dan kewajiban bagi manusia selaku khalifah fil ardhi. Bahkan yang menjadi tantangan adalah anak muda yang banyak terjun ke partai politik, jika tujuannya melakukan perubahan tidak masalah. Tetapi jika tujuannya memperkeruh suasana justru akan membuat keruh suasana politik di negara Indonesia, seperti para politisi muda yang sudah banyak terjerat korupsi,” pungkasnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir