Suaramuslim.net – Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Surah An-Najm ayat 1-4).
Ayat-ayat di atas adalah pernyataan pembuka dari surah An-Najm. Mengapa di ayat itu Allah bersumpah dengan bintang yang terbenam?. Pada ujung surah Ath-Thuur terdapat anjuran Allah kepada para pejuang penegak Islam agar mereka shalat di kala cahaya bintang-bintang mulai pudar karena fajar telah menyingsing. Hal itu dalam rangka menguatkan sisi kerohanian para pejuang Islam. Karena itulah, di permulaan surah An-Najm, terbenamnya suatu bintang dan cahayanya yang mulai suram itu dijadikan objek perhatian. Yaitu Allah bersumpah dengannya agar menjadi perhatian kita. Tujuannya agar kita bertambah insaf akan kebesaran dan kekuasaan Allah di alam raya.
Allah bersumpah dengan tenggelamnya bintang untuk menegaskan kebenaran wahyu yang dibawa oleh Rasulullah. Jika bintang di langit menjadi perhiasan yang indah, maka wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Sang Nabi menjadi perhiasan di muka bumi. Jikalau tiada ilmu yang terpancar dari cahaya wahyu Ilahi yang menerangi bumi ini, niscaya manusia di atas bumi berada dalam gelap gulita yang lebih pekat dari malam tanpa bintang. Ya, hidup manusia gelap dan suram tanpa petunjuk Tuhan!.
Yang menjadi objek sumpah Allah dalam ayat itu adalah pensucian Rasulullah dari ketersesatan ilmu dan kekeliruan orientasi. Allah memastikan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia yang diberi petunjuk dan menunjuki, sekaligus pemberi nasihat kepada manusia. Rangkaian ayat ini menegaskan kemurnian wahyu yang diterima Nabi Muhammad. Sebab, sosok Muhammad itu selalu terbimbing dan tertunjuki, tutur katanya tiada bersumber dari letupan dan luapan hawa nasfu karena jiwa Muhammad telah dibersihkan dan disucikan Allah. Dua kali dada Nabi Muhammad dibelah untuk dibersihkan dan disucikan hatinya, yaitu ketika beliau masih berusia 6 tahun dan ketika beliau dewasa berusia 51 tahun sebelum menjalani peristiwa Isra dan Mi’raj. Sosok nabi Agung ini tiada lain hanya mengikuti arahan perintah wahyu dari Allah.
Lalu dijelaskan sosok pengantar risalah (wahyu Ilahi) kepada Nabi Muhammad, yaitu malaikat Jibril alaihis salam dengan segala karakteristiknya; sangat kuat melaksanakan instruksi Allah; sangat kuat menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad dengan aman dan murni sehingga tidak bisa ditembus oleh bisikan setan atau kemasukan sesuatu yang bukan dari Allah. Selain itu, malaikat Jibril memiliki akal yang cerdas, kekuatan, serta keindahan lahir dan batin. Beberapa kali Rasulullah dapat melihat wujud asli Jibril alaihis salam yang menampakkan dirinya di ufuk yang tinggi.
Ayat ini juga menggambarkan kedekatan malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad saat menyampaikan wahyu Allah, bahkan jarak di antara keduanya seperti dua ujung busur panah yang bertemu atau bahkan lebih dekat lagi. Masya Allah. Saat itulah Jibril menyampaikan wahyu Allah yang berisikan syariat agung dan ajaran lurus kepada hati Sang Nabi yang tak pernah mendustakan apa yang dia lihat. Artinya, hati dan penglihatan Nabi bertemu sepakat melihat dan menerima wahyu yang agung. Wahyu Allah itu disaksikan oleh hati, pendengaran, dan penglihatan Nabi yang sempurna. Hal ini menunjukkan kesempurnaan dan kemurnian wahyu yang beliau terima tanpa ada keraguan sedikitpun. Hanya manusia yang sakit otak dan jiwanya, yang berani meragukan kemurnian wahyu tersebut dan mau membantah apa yang Nabi Muhammad liat, dengar, dan simak dari malaikat Jibril.
Di ayat ketiga belas dari surah An-Najm ini, Allah menyatakan bahwa Nabi Muhammad telah melihat malaikat Jibril dalam wujud aslinya untuk kedua kalinya pada saat peristiwa Mi’raj (naik) ke Sidratul Muntaha menerima perintah shalat lima waktu dalam sehari semalam. Kedua peristiwa ini, yaitu Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad sampai ke Sidratul Muntaha menerima wahyu shalat langsung dari Allah tanpa perantara malaikat Jibril, telah menjadi suatu pelajaran terkait kemurnian dan kesempurnaan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad dalam keadaan sadar seperti tersurat dalam ayat ketujuh belas.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. Ya, beliau sadar dan tidak sedang bermimpi. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa di waktu beliau melihat Sidratul Muntaha di dekat Jannatul Ma`wa itu, penglihatan beliau tidak terpesona dan terpaling ke kanan atau kiri, melainkan tetap ke arah muka.
Kesimpulan dari rangkaian ayat ini ada dalam ayat kedelapan belas yang menyatakan bahwa Rasulullah telah mendapatkan pengalaman dan penglihatan yang luar biasa terkait kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh, segala yang beliau lihat dan alami itu tidak lain menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah. Dan ayat-ayat atau tanda-tanda dari kebesaran Ilahi ini memang patut dilihat dan disaksikan oleh seorang Rasul yang mulia lagi utama.
Pertanyaannya, mengapa ayat tentang kebenaran wahyu ini sangat penting dalam tadabbur Al Quran? Karena tanpa mempercayai kebenaran dan kemurnian wahyu yang disampaikan Allah kepada Sang Rasul, kita tidak akan mampu meracik obat kehidupan dari apotek Al Quran ini. Karena tanpa mengimani kebenaran wahyu, kita akan gagal paham, lalu menjadi gagal total untuk memperbaiki carut-marut kehidupan manusia yang berkepanjangan. Bagaimana kita bisa mengobati kehidupan manusia yang terinfeksi aneka ragam penyakit spiritual, sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan, jika kita tidak mengambil obat penangkalnya dari wahyu Allah yang abadi dan terjamin kebenarannya hingga akhir zaman?. Wallahu A’lam.
Oleh: Fahmi Salim MA
Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat & Kandidat Doktor bidang Tafsir dan Ilmu Al-Qur`an Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.