Kehidupan Ki Bagus Hadikusumo dalam Berbagai Zaman

Kehidupan Ki Bagus Hadikusumo dalam Berbagai Zaman

Ki Bagus Hadikusumo
Ki Bagus Hadikusumo (Foto: youtube.com)

Lanjutan Artikel dari “Perjalanan Hidup Almarhum Ki Bagus Hadikusumo

Suaramuslim.net – Ketika zaman Jepang Bung Karno dan Bung Hatta pergi menghadap Kaisar Jepang ke Tokyo. Beliaupun ikut. Sebab baik Bung Karno dan Bung Hatta, ataupun pihak Jepang sendiri, tahu siapa yang berdiri di belakang “Kyai lucu” yang sangat sederhana ini. Pergi ke Jepang pun dia tetap seperti itu juga. Kadang-kadang protokol dilanggarnya! Sehingga Bung Karno dan Bung Hatta terpaksa menahan rasa jengkel terhadap orang yang walaupun bagaimana, harus diakui kebesarannya.

Saya teringat seketika saya datang ke Jogja tidak lama setelah beliau kembali dari Tokyo. Saya ingin hendak melihat Bintang Bahduri “Ratna Suci Kelas III” yang diterimanya bersama Bung Hatta, (Bung Karno mendapat Ratna Suci Kelas II). Diperlihatkannya bintang itu dengan sikap yang lucu, sehingga kalau kiranya ada Jepang yang melihat tentu mereka akan marah. Kadang-kadang Kimono hadiah Tojo dipakainya ke rapat!!

Setelah Zaman Revolusi, beliau turut mendirikan Masyumi dan duduk dalam Majelis Syuro Masyumi bersama dengan Kyai Hasyim Asy’ari, Haji Agus Salim dan pemuka-pemuka yang lain.

Di tahun 1950 Muhammadiyah mengadakan kongresnya kembali di Jogja, Kongres ke-31. Beliau terangkat kembali menjadi ketua P.B. Menolaklah beliau dengan keras. Tetapi suara telah bulat dalam Majelis Tanwir, bahwa tidak ada orang lain yang pantas dan berhak, melainkan beliaulah.

Seketika pengangkatan Ketua diresmikan, beliau tidak datang! hanya surat saja dikirimkannya. Sudah lama rupanya beliau merasa dirinya sakit. Bukan badan lahirnya yang sakit, tetapi hatinya yang sakit. Ini sudah kerap kali diterangkannya.

Yang menyakiti hatinya ialah melihat bahwa tidak ada lagi orang yang benar-benar memikirkan agama. Politik sudah terlalu terletak di muka, sehingga hukum kadang-kadang telah diabaikan. Pemimpin-pemimpin berkaok-kaok menyebut agama, tetapi dia sendiri tidak memperdulikan agama. Kehidupan sehari-hari jauh dari agama. Dia mengharap bahwa kaum wanita Islam dalam gerakan ‘Aisiyah akan tetap memegang teguh pendirian agama. Padahal dilihatnya ‘Aisiyah yang diharapkannya itu, dengan tidak sadar, telah berpikir cara pikiran lain. Kebudayaan barat yang selama ini dicela, telah masuk ke dalam rumah tangga orang-orang yang katanya memperjuangkan Islam selama ini.

Kesederhanaan dan Tegas

Pemuka-pemuka agama berebut-rebut mencari pangkat, sehingga perjuangan yang menjadi dasar hidup selama ini, telah mereka tinggalkan. Satu kali pernah dia berkata : “Dahulu kita dengan teman kita N.U. bertengkar memperkatakan hukum agama. Tentang talqin mayit, tentang melafalkan niat. Tentang khutbah dengan bahasa Indonesia. Sekarang kita bertengkar lagi, tetapi sudah lain! Kita bertengkar tentang kursi, tentang pangkat, tentang jabatan menteri. Dahulu masih agama yang kita perdebatkan, tetapi sekarang tentang dunia”.

Kita yang lain pun memikirkan ini, tetapi tidak sampai menjadi penyakit. Namun bagi beliau rupanya masuk hati betul-betul.

Oleh karena wafatnya Bunyamin, beliaulah dikemukakan Masyumi menjadi gantinya duduk di Parlemen.

Mungkin orang berpikir, tentu sekarang akan berubah sikap hidup beliau. Sebab jaminan belanja telah cukup! Tetapi persangkaan itu meleset. Sebab tambah jadi anggota Parlemen, tambah jelas kesederhanaannya. Orang berebut membeli auto (mobil) baru dengan prioriteit (prioritas) dan ada yang menjualnya kembali, sehingga dituntut di muka hakim, namu beliau masih naik becak atau naik tram ke parlemen. Di dekat beliau di hotel, seorang anggota parlemen “tawar menawar” dengan orang-orang yang ingin mendapat kuota haji, namun beliau hanya melihatnya dengan senyum.

Satu kali kami diundang bertukar pikiran oleh Presiden ke istana. Bagaimana hendaknya menyelesaikan pemberontakan batalyon 426 di Jawa Tengah. Satu per satu kami masuk. Saya lihat sendiri Bung Karno memeluknya dan terlompat dari mulutnya, “Oh, Guruku!” Sehingga kami yang lain, termasuk saya, menjadi iri hati! Bukankah sayapun gurunya?

Setelah duduk bercakap-cakap dan bergilir berbicara, akhirnya tibalah giliran pada beliau. Maka dengan terus terang beliau berkata, “Mungkin memang diatur demikian rupa, supaya hati golongan Islam sakit! Mereka hanya dipergunakan orang seketika perlu untuk mencapai hajatnya! Tetapi setelah hajat tercapai, kekuatan Islam itu harus dipatahkan! Karena kalau secara legal, Islam mesti menang. Lalu dibikin cara yang lain. Ahli-ahli ketentaraan dari pihak Islam, yang besar pengaruhnya, dikirim ke luar negeri! Yang di dalam dikecewakan hatinya, sehingga yang tidak sabar menjadi gelap mata”!

Ketika dia berbicara itu pecinya dibukanya dan dia bersila di atas kursi empuk. Bung Karno hendak berbicara sebelum perkataannya sampai. Lalu dia berkata, “Tunggu dulu ! Biarkan perkataan saya lepas!”

Lalu disambungnya pula, “Saya percaya bahwa hal ini tidaklah Bung sukai! Tetapi saya percaya pula, bahwa Bung tahu juga akan hal ini”.

Bung Karno mengangguk!

Penutupnya beliau berkata :

“Kekuatan Indonesia ini terletak pada semangat Tauhidnya Umat Islam. Segala kejadian ini saya rasa, adalah politik orang lain, yang sengaja hendak meremukredamkan Indonesia. Kalau Islam tidak kuat lagi, apalah artinya kekuatan Indonesia”!

Inilah Ki Bagus!

Oleh: Muhammad Fisabilillah
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment