BEKASI (Suaramuslim.net) – Persoalan kelaparan seolah menjadi masalah laten di Indonesia. Ancaman tersebut kini diperparah dengan kondisi yang serba tidak menentu akibat dampak pandemi. Bahkan, dalam sebuah laporan yang dirilis oleh lembaga nirlaba, Oxfam, menyebut potensi kematian akibat kelaparan saat pandemi bisa lebih banyak daripada infeksi virusnya sendiri.
Dalam laporannya tersebut, Oxfam memperkirakan tingkat kematiannya bisa mencapai 12 ribu per hari di akhir 2020.
Hal tersebut patut diberi perhatian lebih sebab masalah pandemi yang masih belum diketahui kapan berakhir. Di sisi lain ancaman kelaparan yang disebabkan oleh faktor lain terus menghantui, misalnya dampak dari kekeringan. Sejumlah wilayah di tanah air, salah satunya Bekasi, tidak luput dari ancaman tersebut di tengah pandemi.
Pelangi Ika (35), tokoh masyarakat dari Kampung Cigoong, Desa Sirnajati, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, bercerita bagaimana daerahnya mengalami kekeringan setiap tahun. Akibatnya, ketahanan pangan wilayah setempat pun terancam.
“Pangan dan air di sini (Cibarusah) sangat rentan, ya. Memang kalau dilihat seperti lumbung pangan atau lumbung padi dan sayur. Tapi kalau kekeringan semuanya gagal panen dan tidak bisa dijual atau konsumsi,” ujar perempuan yang akrab disapa Ika ini.
Ia menuturkan, warga setempat sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan buruh lepas. Apabila kekeringan melanda, para buruh tani mengalami gagal panen. Alhasil mereka pun kehilangan sumber penghasilan, sehingga tidak sedikit dari warga beralih profesi mencari pekerjaan baru.
“Hampir sebagian besar buruh tani, yang karyawan swasta sedikit. Kalau musim kemarau seperti sekarang mereka mau tanam apa-apa susah. Ini saja sawah sudah masuk gagal panen walau kelihatannya hijau-hijau,” tuturnya.
Kampung Cigoong, Cibarusah jadi langganan kekeringan setiap tahun. Selama kurun waktu tujuh bulan, warga kesulitan mendapat akses air bersih. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, warga harus mengambil air dari Kali Cipamingkis.
Tidak semua warga memiliki sumur atau sumber air. Selain biaya yang mahal untuk membuat sumur, Ika mengungkapkan, kontur alam menjadi salah satu faktor lain sulitnya mencari sumber air di wilayah tersebut.
“Jadi kalau kekeringan warga di sini ngambil air di kali, itu juga prosesnya tidak mudah karena harus turun dulu sebab tepian kalinya curam, sekitar 45 derajat,” lanjut Ika.
Ia berharap banyak pihak yang tergerak untuk membantu dengan membuat sumur yang dapat melewati musim kemarau, sehingga air dapat terus mengalir ke rumah-rumah dan persawahan warga setempat.
Sementara itu, Kepala Cabang ACT Bekasi Ishaq Maulana mengatakan, persoalan-persoalan yang langsung menyentuh masyarakat terus hadir di tengah-tengah pandemi. Untuk itu, ACT Bekasi akan senantiasa berikhtiar semaksimal mungkin mengajak masyarakat menyalurkan kedermawanannya guna bersama-sama menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada.
“Harapannya kita bisa senantiasa ikhtiar semaksimal mungkin untuk memberikan program-program yang tepat di wilayah yang tepat, seperti di Cibarusah yang terbilang jauh dari pusat kota. Tentu kita mengajak para dermawan dalam ikhtiar ini agar maslahat yang kita berikan dapat tersebar lebih luas lagi,” kata Ishaq.
Reporter: Chamdika Alifa
Editor: Muhammad Nashir