Suaramuslim.net – Palu dan Donggala, setelah Lombok, sudah cukup jadi isyarat: betapa pemegang kekuasaan yang diamanahi tak memadai menjaga ushul khamsah: hifzh diin, hifzh nafs, hifzh nasl, hifzh aql, dan hifzh maal. Agama, nyawa, keturunan, akal, dan harta mestinya jadi perhatian satu kekuasaan yang setiap muslim turut menyokong.
Ketidakseriusan penguasa merawat dan memedulikan ushul khamsah sepatutnya jadi cermin warga. Kekuasaan demikian hanya akan hadirkan anarki perangai rakyat sebab di bawah turut terpantik dengan peneladanan dari atas. Pada titik ini, sokongan para alim atas nama siyasah syar’iyyah patut dievaluasi: apakah dari sebuah proses istinbat dukungan yang ikhlas karena demi tegaknya ushul khamsah, ataukah apakah semata-mata karena kedekatan dan tarikan emosi kelompok belaka?
Kadangkala, sehebat apa pun retorika menjadi kalangan berbesar jiwa sebagai pluralis, bisa jatuh sebatas kaum naif gara-gara inkonsistensi menjaga ushul khamsah tadi. Inilah yang mesti jadi perhatian siapa saja yang mendakwa diri hendak “mengislamkan” Indonesia. Dengan metode perjuangan menurut yang diyakini. Entah dengan jalan memformalkan syariat ataukah sebaliknya. Menilai kekuasaan serius atau tidak menjamin hak-hak primer warga dalam ushul khamsah sesungguhnya sudah amat memadai. Seberapa kokoh kekuasaan yang didukung mampu menjalankannya sehingga patut didukung?
Karena itu, semestinya saban ada ajang memilih penguasa, logika umat—juga rakyat beragama Islam—dilatih demikian. Bukan dari penonjolan emosi. Bahkan yang intelektual dan mengaku tercerahkan berislam pun, yang mengemohi pemformalan syariat, sering kali abai dalam menyusun alasan mendukung kekuasaan. Alih-alih dengan basis kesadaran untuk menjaga ushul khamsah, malah yang ada loyalitas pada identitas atau simbol sang calon. Bahwa aku dan sang calon itu jalankan kemaslahatan. Meski, sebenarnya, sudah terbukti sebaliknya. Dan ini bisa disaksikan dalam manajemen bencana alam.
Kekuasaan ketika menghadapi bencana alam amat mudah untuk dinilai dari keseriusan merawat hak-hak rakyat—umat Islam di dalamnya. Bukan dengan ujaran berbau materialistis dan anarkis sebagaimana pernah diucapkan seorang menteri dalam awal-awal selepas bencana alam di Palu dan Donggala. Seakan menjarah adalah solusi mujarab dan memadai di tengah bencana. Ia lupa lebih baik menghadirkan kebijakan luar biasa dengan mengerahkan semua sumber daya dan sumber dana untuk berlekas ke lokasi bencana. Bagaimanapun caranya, bila perlu dengan alat kekuasaan. Bukan malah alat kekuasaan dipakai untuk mengabsahkan satu kriminalitas.
Kekuasaan akan tampak goyang, atau sebaliknya, bisa diperoleh seiring kemampuan kekuasaan menjaga ushul khamsah ataukah tidak. Ini bila rakyat negeri ini mau secara jujur membaca dengan akal pikiran jernih. Semasa kekuasaan sebelumnya, ada tsunami di Aceh dan gempa di Yogyakarta. Dengan keberadaan orang-orang yang mengenal—sedikit atau banyak—pentingnya ushul khamsah, maka ada keterlibatan apik dalam membantu derita korban. Tidak sempurna memang tapi jauh lebih baik ketimbang dengan yang terjadi hari ini di Pulau Sulawesi. Manajemen dan empati begitu tergopoh; seakan tak ada kerangka berpikir untuk memikirkan ushul khamsah.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net