SURABAYA (Suaramuslim.net) – Perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 171 daerah di seluruh Indonesia sudah sepekan berlalu. Beberapa calon kepala daerah ada yang mendeklarasikan kemenangannya berdasarkan hasil hitung cepat. Namun ada beberapa catatan menarik dari proses demokrasi yang berlangsung di negeri ini. Di antaranya, sejumlah calon kepala daerah menyandang status tersangka dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lebih miris, empat dari sejumlah calon tersebut ada di Jawa Timur. Yaitu calon Bupati Jombang Nyono Suharli, calon Wali Kota Malang Mochammad Anton, calon Wali Kota Malang Yaqud Ananda Gudban, dan calon Bupati Tulungagung Syahri Mulyo. Ya, dua dari tiga calon Wali Kota Malang malah tersangkut kasus di KPK.
Meskipun dari hasil hitung cepat, tiga dari empat calon tersebut “keok” dan mendapat “hukuman” dari masyarakat, ditinggalkan pemilihnya. Hasil berbeda diterima calon Bupati Tulungagung, Syahri Mulyo. Berdasarkan hasil hitung cepat yang dirilis Tulungagung Institute, calon yang diusung PDIP dan Nasdem ini unggul 59,97 persen atas lawannya yang diusung 9 partai politik yakni PKB, Partai Demokrat, Gerindra, Golkar, Hanura, PAN, PKS, PPP dan PBB, dengan perolehan 40,03 persen suara.
Kemenangan cukup telak dari seorang tersangka KPK. Apakah hal ini menyiratkan tumpulnya nalar politik kritis warga Tulungagung atau justru masyarakat masih menginginkan dipimpin oleh pemimpin yang integritasnya dipermasalahkan, ataukah koalisi partai politik yang ada belum bisa menghadirkan calon yang diharapkan masyarakat?
Menanggapi polemik ini, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (29/06/18) menegaskan ia akan tetap melantik pemenang pilkada meskipun sedang bermasalah dengan KPK.
“Suara rakyat adalah suara Tuhan, hasil pilkada yang memilih adalah masyarakat. Soal siapa yang dipilih, itu yang dimaui masyarakat. Jalan terus. Tetap dilantik sampai ada kekuatan hukum tetap dia bersalah atau tidak”, ujar menteri yang berasal dari PDIP ini seperti dilansir dari Kompas.com.
Komisioner KPK Saut Situmorang pada Kamis (28/06/18) menyatakan, dalam politik suara rakyat itu suara Tuhan. Kalau rakyat sudah menentukan pilihannya, harus dihargai.
“Mungkin karena wakilnya bagus, atau kerjanya waktu menjadi Bupati juga bagus sehingga rakyat senang. Namun menjadi seorang pemimpin itu berkinerja saja tidak cukup, seorang pemimpin harus berintegritas”, pungkas Saut.
Hukum Indonesia Bermoral
Dr. Suparto Wijoyo pakar hukum dari Universitas Airlangga Surabaya tidak sepakat dengan sikap Mendagri. Dalam talkshow Ranah Publik di Suara Muslim Radio Network (04/07/18) ia menjelaskan menurut UU Pilkada, UU Pemerintah Daerah, bagi tersangka saja itu prosesnya jeda, tidak boleh mengemban jabatan publik.
“Harus ada proses peradilan dulu. Karena dia melakukan proses peradilan. Dia status qou. Kalau itu nanti teknisnya tidak bisa dilantik. Karena status tersangkanya menyebabkan dia tidak boleh menduduki posisi/jabatan publik”, kata Suparto.
Menurut Suparto pejabat publik yang tersangka, berurusan dengan hukum, disuruh mundur dulu.
“Pasalnya ada, pejabat entah itu bupati, walikota, gubernur, kalau dia tersangka maka dia diberhentikan dari posisinya”, tegas Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya ini.
Suparto menyitir Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang mengamanatkan kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Menurutnya, hukum di Indonesia itu sebenarnya bertauhid. Karena mengenal atribut besar yang menyatakan setiap undang-undang itu dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Kalau tidak ada itu tidak sah di Indonesia. Artinya Tuhan sebenarnya, Allah SWT menjadi spirit moral besar dan DIA memberi panduan tatanan hidup.
“Moralitasnya, yang tersangka tidak bisa dilantik, kalau pun Mendagri ngotot mau melantik. Setelah dilantik langsung diberhentikan. Ini untuk status bukan narapidana lho ya, ini untuk yang masih tersangka”, pungkasnya.
Respons Warga
Beberapa pendengar talkshow Ranah Publik ikut berkomentar mengenai calon Bupati Tulungagung tersangka KPK.
Zulfi dari Surabaya mengkritisi istilah suara rakyat suara Tuhan, karena menurutnya salah. Zulfi menganalogikan seandainya pemilihan dilakukan di kawanan begal dan mereka melakukan pemilihan secara demokratis, maka yang terpilih apakah bisa disebut mewakili suara Tuhan?
“Atau pemilihan demokratis di sekelompok maling, pasti maling yang paling lihai dan tidak pernah terhukum yang akan terpilih. Apakah ini juga mewakili suara rakyat suara Tuhan?” Gugatnya.
Menurut Zulfi kesalahannya pada sistem, yang harus digugat adalah sistemnya. Selama sistem tidak diganti, diskusi-diskusi seperti ini akan terus berlanjut.
Zulfi menilai partai politik sepertinya gagal menghadirkan calon pemimpin. Masyarakat tidak diberikan pilihan terbaik dari yang ada. Fenomena para calon kepala daerah yang berurusan dengan KPK menyiratkan betapa gagalnya parpol melakukan kaderisasi.
“Memang tidak ada jaminan orang yang belum berurusan dengan KPK itu baik, apalagi yang sudah berurusan, sangat tidak dijamin,” pungkasnya.
Penelpon lainnya dari Sidoarjo, Salam. Ia menyebut orang yang tidak benar (koruptor) bisa menang, mungkin karena dia berbuat baik kepada masyarakat selama menjabat Bupati satu periode, jadi mendapatkan simpati dari masyarakat.
“Fenomena ini mengajarkan, jangan hanya jadi orang baik tapi jadilah juga orang yang benar”, kata Salam melalui sambungan telepon.
Sementara Heri, seorang advokat di Tulungagung mengatakan sebagai masyarakat ia harus menerima hasil pesta demokrasi di daerahnya, terlepas suka atau tidak suka. Selama semua berjalan sesuai dengan koridor dan aturan berlaku.
Heri mengakui ini adalah pilihan politik yang sangat rumit dan ujian bagi masyarakat Tulungagung ketika calon petahana (Syahri) terkena masalah dengan KPK. Sebagai contoh, lanjut Heri, sebelum penangkapan, elektabilitas Syahri sangat tinggi, dan ketika pencoblosan ada penurunan yang signifikan.
Menurut Heri, Syahri masih dipilih masyarakat Tulungagung karena pada masa Syahri menjabatlah, mereka memiliki pemimpin putra daerah yang lahir dan dibesarkan di Tulungagung serta mau mencoba membangun daerah sesuai dengan kulturnya.
“Apa yang mereka (Syahri) lakukan selama menjabat Bupati telah memberikan harapan masyarakat Tulungagung secara umum, membangun dengan pelan-pelan kultur warga”, tutur Heri.
Berbeda dengan Heri, Arief yang juga warga Tulungagung menyatakan dirinya sebagai warga Tulungagung menghargai pilihan mayoritas yang akhirnya memenangkan calon Bupati tersangka KPK yang berasal dari petahana. Namun ia merasa malu, karena ternyata pemimpinnya diduga KPK melakukan korupsi. Karena ketika bersosialisasi dengan orang luar, akan memperburuk citra, baik sebagai warga maupun daerah.
“Suka atau tidak suka harus diterima”, ucap Arif.
Arief merasa dirugikan dengan citra yang buruk ini, apalagi ketika melakukan lobi-lobi bisnis. “Haa ini orang Tulungagung, Bupatinya saja korupsi”, ujar Arif yang berprofesi sebagai pebisnis ini berkelakar.
Jangka panjangnya, Arif melanjutkan, jika nanti terbukti bersalah, akan menjadi preseden buruk bagi Tulungagung.
“Selama ini sudah terkenal sebagai kota marmer, kota santri dan sebagainya, citranya tidak akan seperti itu lagi”, ujarnya sedih.
Arif menyebut sebetulnya para kiai sudah memperingatkan warga untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin. Warga diimbau agar lebih cerdas dalam memilih pemimpin yang bersih.
Pilkada Adalah Kontestasi Rebutan Kehormatan
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura, Surokim M.Si yang hadir sebagai narasumber Ranah Publik Suara Muslim Radio Network menyebut dirinya sebagai pengamat sosial bersedih.
Surokim menjelaskan bahwa suara rakyat suara Tuhan, itu idealnya. Aspirasi publik itu seyogyanya tidak direkayasa, jalannya benar, murni tumbuh dari partisipasi masyarakat bawah. Itulah kehendak arus bawah publik, yang dinamakan dengan suara Tuhan.
Namun kenyataannya, lanjut Surokim, dalam banyak praktik politik, banyak dicemari praktik kotor.
“Di sana ada money politic, vote buyer, pemain yang bertindak menjadi makelar, dan para pemodal yang terlibat rekayasa, ujar dosen yang juga peneliti di Surabaya Survey Center ini.
Distorsi-distorsi seperti ini muncul dan mengakibatkan tidak selalu suara rakyat adalah suara Tuhan. Surokim mengimbau publik berkewajiban mengupayakan agar proses demokrasi berjalan alamiah tanpa praktik-praktik negatif seperti itu.
“Kalau ada fenomena satu tersangka KPK dipilih oleh masyarakat, jika kita baca data secara kuantitatif, masih banyak nalar sehat masyarakat di beberapa daerah, karena para tersangka lain malah “dihukum” duluan dengan tidak dipilih. Nalar publik masih sehat”, tuturnya.
Pria asal Lamongan Jawa Timur ini menilai pilkada masih dipahami sebagai ritual perebutan jabatan politik semata, tidak dipahami sebagai ritual meraih kehormatan. Maka komentar pejabat pusat pun masih seperti itu. Tidak ada empati kepada publik. Tidak ada rasa yang memberikan harapan kepada publik.
“Kalau lah harapannya menghadirkan pemimpin-pemimpin luar biasa, maka kita berkewajiban menjadikan kontestasi politik ini bukan sekadar rebutan jabatan, tapi merebut kehormatan”, pungkasnya.
Sudah saatnya kita kembali mempromosikan bahwa kontestasi pilkada adalah kontestasi rebutan kehormatan, sumber kemuliaan. Ini akan menjadi kebajikan yang luar biasa untuk membangun peradaban politik kita.
Variabel pemilih semakin kompleks dan saatnya kita tidak lagi mengakui adanya kedaruratan pemilih kritis seperti di Tulungagung. Tapi kita mendorong supaya pemilih kelas menengah kritis bisa membaca tren dari daerah lain. Sehingga sejatinya kita sedang melakukan pemilu berbiaya mahal yang akan melahirkan pemimpin mulia di mata publik.
Partai politik pun perlu mengambil pelajaran dari peristiwa ini agar lebih saksama memilih calon kepala daerah. Jangan sampai masa depan daerah dipertaruhkan pada calon pemimpin yang berpotensi menjadi maling.
*Surabaya 4 Juli 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net